Cinta Sakata pada Ubud, Hormatnya pada Pelepah Pisang

Interaksi emosional Sakata dengan karyanya terjadi terus menerus, sehingga hasilnya tidak berlebihan. Dari karyanya itu dia mengubah suasana, membuat kita tenggelam di dalamnya.
Oleh Silvia Galikano
Setelah mempelajari kebudayaan dan filsafat otentik Jepang melalui ikebana dan upacara minum teh, Jun Sakata, 69 tahun, ingin mengungkapkan kesatuan budaya Jepang dan Bali melalui karya seni kertas pelepah pisang.
Itu sebabnya dia menggelar pameran ini, pameran yang mengambil nama sang seniman sebagai tajuk, untuk berbagi dengan masyarakat Indonesia tentang terciptanya saling pengertian antara kebudayaan Jepang dan Indonesia.
Pameran lukisan/instalasi kertas pelepah pisang “Jun Sakata” dihelat di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta pada 3 – 12 Juli 2017. Sekitar 50 karya yang dikurasi Merwan Yusuf itu menggunakan media utama kertas pelepah pisang dari Ubud, Bali.
Jun Sakata adalah perupa kelahiran Yokohama, Jepang pada 1948 yang 17 tahun terakhir hidup di Ubud dan Yokohama. Dia mengawali karier sebagai perancang bunga (ikebana) yang diwarisi dari ayahnya, seorang grand master Ikebana Kou-fuu-ryuu.
Usai studi hukum di Universitas Meiji, Kawasaki pada 1971, Sakata bekerja di Dewan Kota Kawasaki sebagai pengawas lingkungan. Dia diangkat sebagai wakil grand master Ikebana Kou-fuu-ryuu pada 1975 setelah juga mempelajari upacara minum teh urasenke dan mulai terjun ke dunia senirupa. Saat itu dia banyak berkarya dengan kertas washi.
Berawal dari 1999 yang merupakan kunjungan pertamanya ke Ubud, Bali, Sakata menemukan kertas yang terbuat dari pelepah pisang. Seketika dia jatuh cinta pada bahan alami ini sebab mengingatkannya betapa alam melimpahi segala kepada manusia dan sejatinya kita hidup bersama alam.
Setahun kemudian dia memutuskan untuk menetap dan berkarya di Ubud dengan memanfaatkan kertas pelepah pisang. Kertas ini dibuat dari pelepah pisang yang dibikin bubur kemudian dipress dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Semua proses dilakukan secara manual, butuh kesabaran, pemahaman sejati, dan penghormatan terhadap alam. Karena dibuat dengan tangan, maka setiap lembarnya sangat unik.

Kertas pelepah pisang, menurut Sakata, mirip washi yang jadi medium berkarya sebelumnya, hanya saja serat pelepah pisang lebih banyak sehingga lebih bagus untuk dilukis dan ditempel. Dan kertas ini menjadi medium yang lebih bagus untuk menggoreskan krayon karena permukaannya timbul, menciptakan gambar lebih “bervolume”, hal yang tak didapat jika menggunakan washi.
Lembaran kertas itu kemudian digores, diukir, dicungkil, atau juga dipotong kecil-kecil untuk kemudian ditempelkan di bidang yang lebih lebar, bahkan tak jarang memadukan semua teknik itu dalam satu karya. Untuk pewarna digunakan oil pastel, sumi ink (tinta cina), dan kakishibu (sari kesemek).
“Ketika saya mencipta, saya lebih berusaha untuk mendekatkan diri dan berkomunikasi dengan kertas pisang itu ketimbang sekadar menumpahkan gagasan. Saya ingin mengungkapkan energi dan ilham dari alam melalui karya seni dari kertas pelepah pisang, pengalaman baru yang kemudian mengubah jalan hidup saya,” kata Sakata.
Mari tengok Wind yang dipasang di tengah-tengah ruang pamer. Wind adalah satu bidang zigzag dua sisi berukuran 320×50 cm yang diberdirikan. Di sisi satu yang berwarna terang, melintang dari ujung ke ujung adalah persegi panjang hitam selebar jengkal yang seolah-olah membagi bidang itu secara horizontal. Sisi sebaliknya didominasi motif lekuk-lekuk putih dengan latar belakang warna tanah.
Saat dilihat dari dekat, lekuk-lekuk putih itu terdiri dari kertas pelepah pisang yang digunting kecil-kecil lantas ditempelkan ke bidang utama membentuk pola yang ditentukan. Apa yang ingin Sakata ceritakan lewat Wind?
“Tidak ada, bebas saja mau diinterpretasikan apa,” begitu katanya.
“Bebas” juga jadi interpretasi karya-karya lainnya, seperti Warmth, Harmony, Expectation, Memory, dan Whispering yang dari jauh tampak sederhana namun demikian rumit ketika dilihat dari dekat. Galibnya karya-karya seni Jepang jelas sekali tertangkap dalam karya Sakata yang melahirkan rasa tenang, introspeksi, kedalaman, dan ringan yang dapat ditarik sebagai garis merah pameran ini.
“Karya-karya seni Sakata tidak main-main. Pekerjaan yang dirancang benar dan tidak spekulatif dengan presisi, fokus, dan kesabaran tinggi. Interaksi emosional Sakata dengan karyanya terjadi terus menerus, sehingga hasilnya tidak berlebihan. Dari karyanya itu dia mengubah suasana, membuat kita tenggelam di dalamnya,” ujar kurator Merwan Yusuf.
Di samping itu, lanjut Merwan, Sakata memperkenalkan arti esensi yang dibawa ke dalam dunia perenungan, menghindarkan semua yang tekstual. Semua itu tidak melalui pekerjaan mencari studio dan semacamnya, pun tidak dengan maksud membuat karya yang mutakhir atau hal-hal besar lain.
“Dia tidak kenal wacana. Tapi bukan berarti tidak ada apa-apanya. Kalau dia lihat dinding, dia respon, bukan malah membuat frame untuk menutupi dinding. Kita selalu menutupi kelemahan kita. Itu filosofi karyanya. Refleksi budaya Jepang-nya kental sekali, sebuah ungkapan peradaban. Itulah yang disebut budaya nasional, identitas nasional.”
Dari sisi materi, Sakata menggunakan barang yang dibuang, pelepah pisang, dia olah untuk dijadikan karya seni, yang artinya menerapkan ekonomisasi. Menggunakan istilah Merwan, Sakata memperlakukan benda dengan sangat hormat, sehingga benda itu memberikan kembali semua kekuatannya.

Pameran ini adalah pameran ke-2 Sakata di Indonesia setelah 2013 di Museum Affandi, Yogyakarta. Sedangkan di Jepang, hampir tiap tahun dia berpameran, tunggal maupun bersama, yakni di Tokyo, Kyoto, Ishikawa, Aichi, Iwate, Fukui, Chiba, Saitama, dan Kanagawa.
Pernah pula di berpameran tunggal di Openhouse Gallery, New York, AS serta pameran bersama di Japan 2001 Japan Fair (London) dan Japan-Korea Contemporary Art Exhibition (Korea).
Karena urusan izin tinggal, setiap enam bulan Sakata keluar sebentar dari Indonesia, bertolak ke Yokohama untuk tinggal di sana selama enam bulan, lalu kembali lagi ke Ubud. Begitu terus selama 17 tahun terakhir walau, menurutnya, dia lebih mencintai Ubud dan ingin menghabiskan sisa hidupnya di desa internasional yang unik itu.
***
Dimuat di majalah SARASVATI edisi Agustus 2017