Bali Hotel dan Singgahnya Negarawan Dunia

bali hotel
Tulisan ikonik Bali Hotel di atap Shinta Restaurant. (Foto Silvia Galikano)

Bali Hotel pernah jadi hotel mewah dan tempat menginap bergengsi tamu-tamu penting pada awal abad ke-20. Setelah sempat bernama Natour Bali Hotel, lalu Inna Bali Hotel, sejak Maret 2017 bangunan bersejarah ini menyandang nama Inna Bali Heritage Hotel.

Oleh Silvia Galikano

Posisinya di tengah kota, di Jalan Veteran 3, Denpasar, sekitar 100 meter arah utara dari bundaran Patung Catur Muka dan Lapangan Puputan Badung.  Di nol kilometernya Denpasar. Kantor-kantor pemerintahan, Museum Bali, Puri Agung Denpasar (Puri Satria) yang adalah rumah jabatan gubernur Bali, pusat perbelanjaan, dan pasar tradisional dapat ditempuh beberapa menit saja dengan berjalan kaki.

Hotel ini terbelah dua oleh Jalan Veteran. Sebelah barat adalah lobi, ruang pertemuan Puri Agung Room, kamar Suite dan Standard, serta Shinta Restaurant yang ramai begitu malam tiba. Di atap restoran inilah terpasang tulisan ikonik “Bali Hotel” yang juga dijumpai dalam foto-foto hitam-putih zaman baheula.

Di sebelah timur Jalan Veteran adalah barisan kamar Deluxe yang merentang membentuk huruf U dangkal dengan halaman luas berumput serta pendopo di tengah. Kamar 77 di ujung utara menyimpan banyak cerita. Di sinilah sejumlah pemimpin dunia pernah bermalam, di antaranya Ratu Elizabeth, Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Sukarno, Megawati, juga Jokowi.

Kamar 77

Berwisata ke Bali dengan cara berombongan dan dengan jadwal  yang jelas (itinerary) dimulai Koninklijke Paketvaart-Maatschappij (KPM – Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda, 1888–1966) pada 1924. Mereka sudah menyiapkan infrastrukturnya sejak 1917.

Kapal uap KPM sekali sepekan melayani pelayaran dengan rute Singapura, Batavia, Semarang, Bali (pelabuhan Buleleng, Singaraja), lalu ke Makassar. Rute ini dikenal sebagai jalur BaliExpress.

Jadwalnya adalah penumpang mendarat pada Jumat pagi, naik mobil keliling pulau, lalu meninggalkan Bali pada Minggu. Karena kapal buang sauh agak di tengah laut, disediakan perahu-perahu kecil untuk mencapai pantai. Tak jarang juga penduduk membantu memikul turis sampai ke tepian. Mereka bermalam di kapal atau di rumah peristirahatan yang sebelumnya hanya boleh untuk pejabat pemerintah.

Dinas pariwisata milik pemerintah Hindia Belanda mencatat pelancong yang datang ke Bali pada 1924 berjumlah 213 orang. Mereka umumnya seniman, penulis, musikus, dan antropolog Belanda yang terpikat akan keunikan dan kecantikan budaya Bali.

Pada 1925, Bali berfokus pada agen perjalanan dari Belanda dan Inggris. Karena terus meningkatnya jumlah kunjungan wisata, KPM mendirikan Bali Hotel di tengah kota Denpasar pada 1927 dengan 40 kamar dan menjadi hotel internasional pertama di Bali. Pada tahun tersebut, jumlah wisatawan ke Bali sudah mencapai 480 orang.

Nama terkenal yang menginap di sini antara lain bintang komedi Hollywood Charlie Chaplin bersama abangnya Sydney mendarat di Singaraja pada April 1932, lalu berkendara ke Denpasar dan menginap di Bali Hotel selama sepekan. Dua bersaudara ini berkeliling dari pura ke pura, menyaksikan tarian, juga ikut menari. Hari ulang tahun ke-43 Charlie pada 18 April pun mereka habiskan di Bali.

Bali Hotel berdiri di atas lokasi Puputan Badung 1906, yakni perang habis-habisan (puput = putus, lepas nyawa) rakyat Bali melawan Belanda, yang disusul Puputan Klungkung dua tahun kemudian.
Selain mengakomodasi wisatawan, Bali Hotel juga jadi tempat menginap tamu pemerintah.

Di sinilah digelarnya Konferensi Denpasar 1946 yang melahirkan Negara Indonesia Timur dengan Cokorda Gde Raka Sukawati sebagai kepala negara. Di sini pula Presiden Sukarno menjamu tamu-tamunya, termasuk saat kunjungan Presiden Filipina Elpidio Quirino pada 23 Juli 1952.

Sales  Manager Inna Bali Heritage Hotel Putrawan saat ditemui di Bali, akhir Juli 2017, menunjukkan kamar nomor 77 yang jadi tempat menginap banyak negarawan dunia.

Begini cerita Putrawan tentang Presiden Sukarno. “Setelah mendarat, Bung Karno ke Bali Hotel untuk beristirahat sebelum berpidato di alun-alun, lalu kembali ke hotel untuk menginap. Atau sebelum pergi ke Istana Tampaksiring di Gianyar, beliau beristirahat dulu di sini, selalu di kamar 77.”

Putera-puteri Bung Karno, menurut Putrawan, juga selalu singgah di Bali Hotel, di kamar 77, jika ke Bali. Megawati terbilang sering datang sebelum jadi presiden, namun sekarang sudah jarang.

“Jokowi pernah menginap semalam di sini. Kalau putra sulungnya, Gibran, lebih sering,” lanjutnya.
Seluruh kamar Deluxe punya teras menghadap Jalan Veteran. Antara teras dan jalan ada halaman berumput yang cukup luas. Kerap digunakan untuk pesta bertema outdoor.

Coba bayangkan masa lalu ketika Jalan Veteran adalah jalan kecil dan yang lalu lalang hanya dokar. Selepas makan malam, Bung Karno duduk di teras mengenakan baju santai (mungkin kaus oblong dan sarung) berteman segelas kopi dan rokok State Express atau cerutu, nyaman betul.

Yang terpelihara
Dahulu front office berada di ruang yang sekarang jadi Puri Agung. Di belakang front office adalah restoran. Saat renovasi tahun 2014, front office dipindah ke bangunan baru yang dibikin bergaya kolonial, lengkap dengan ubin lawasan.

Tata letak kamar tetap dipertahankan seperti dahulu kecuali jumlahnya bertambah jadi 76 kamar, walau begitu nomor kamar sampai 77 sebab kamar 13 ditiadakan.

Kita masih dapat melihat deretan kamar empat-empat saling berpunggungan di tepi kolam renang yang dibangun pada 1970-an. Ceritanya, ini semacam asrama bagi awak Garuda Indonesian Airways (sekarang Garuda Indonesia)  saat maskapai tersebut membuka rute ke Bali sedangkan asrama belum ada.

Namun demikian, renovasi hotel terkesan tak sesuai dengan nilai kesejarahan bangunan. Lantai seluruh kamar lama berlapis keramik, termasuk kamar 77, dari yang asalnya ubin teraso. Ubin teraso hanya ditemukan di teras kamar, namun begitu melangkah masuk, seluruh lantai sudah berganti (semoga hanya berlapis) ubin keramik. Kamar mandinya juga tak menyisakan kekhasan awal abad ke-20.

Langit-langit kamar Deluxe yang asalnya 6 meter, sekarang rendah mengikuti standar hotel, seperti disebut Putrawan, “Karena tamu tidak nyaman dengan langit-langit yang tinggi.”

Di antara kondisi-kondisi memasygulkan ini, harapan justru dapat ditumbuhkan ketika melihat bagian-bagian yang “disembunyikan” dari tamu, seperti kantor, ruang laundry, dapur, dan ruang cuci piring. Di sanalah kekunoan terjumpai, seakan-akan lolos dari bidikan renovasi.

Ruang dengan langit-langit tinggi, jendela-jendela tinggi, jendela nako – bahkan kawat nyamuk, masih ada. Cat pintu dan kusen berwarna biru laut muda tampak sudah lumayan lama tidak diganti.

Anggaplah ini berkah yang tersembunyi. Walau kondisi ruang-ruang itu perlu ditingkatkan, namun “Alhamdulillah, puji Tuhan” keasliannya masih terjaga. Apakah menyediakan area terbuka di belakang dapur bisa masuk dalam pilihan, entahlah. Jika bisa, maka sangat bagus untuk memberi kesan lega.

Seorang awak dapur menunjukkan panci yang sedang dalam bak cuci sebagai salah satu barang paling lama di sini, cooker hood baja lebar yang entah sejak kapan ada di sana, dan plat di plang melintang bertuliskan “Geveke & Co Amsterdam – Soerabaia”, perusahaan teknik di bidang industri minyak dan gas yang didirikan di Amsterdam pada 1874. Inilah pendukung kayanya narasi akan hotel ini, termasuk kamar 77, sebagai sajian utama ke-heritage-an Inna Bali Heritage Hotel.

***
Dimuat di sarasvati.co.id, 10 Agustus 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.