Yang Selesai di Horizon Tjahjadi Hartono

Itu sebab, setiap pergi hunting foto, ke Nepal atau tempat lain, dia tidak se-ngoyo yang lain. Dia bisa menemukan objek menarik dari mana saja.

Oleh Silvia Galikano

Tjahjadi Hartono
Tjahjadi Hartono di depan karyanya, “Sang Dewi”. (Foto Silvia Galikano)

Hartono membangun ilusi dan imaji lewat media kamera dan sebagainya yang memancing apresian untuk bermain interpretasi. Dia membuat eksplorasi dan mengabadikan alam dari sudut pandang digital yang berbeda. Sebuah keleluasaan yang menjadi privilese ketika fotografi meninggalkan era seluloid, beralih ke digital yang bersudut pandang luas.

Karya fotografi dan lukisan Tjahjadi Hartono dipamerkan dalam pameran tunggal “Metamaya”, 8 – 16 September 2016 di Tahun Mas Artroom, Bantul, DI Yogyakarta. Ini adalah pameran tunggal keempat setelah “Fulfilment of a Life Dream” (2013) di Bali, “Dua Sisi” (2015) di Jakarta, dan “Imajinasi Diri” (2016) di Bali.

Baca juga Rumah Kaca Sebuah Agenda Besar

Meta dapat diartikan “sesudah” atau “setelah”, selain akronim dari metamorfosa, metafisika, metafora. Sedangkan maya adalah sifat kebendaan yang keberadaannya antara ada dan tiada, atau bila disederhanakan, bisa juga berarti khayalan. Bila digabung, Metamaya bisa merujuk pada dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, atau sebaliknya. Ia berada di ambang batas antara ada dan tiada.

Jika fotografer lain membidik pecahan batu, gulungan kabel, kotoran cat di bengkel, landscape, pasir pantai, pegunungan, kulit kayu, dan warna daging maka hasil jadinya ya benda-benda tersebut. Namun Hartono tak membuatnya berhenti di situ. Dia membawa karyanya ke jenjang lain.

Karya fotografi berjudul Tarian Kolong Langit (2000), misalnya, dengan objek gulungan kabel yang mengkilat, efek pantulan cahaya, sesaat seperti fatamorgana ombak dalam kegelapan. Juga Kecelakaan (2006) yang berawal dari saat membidik sebuah objek, tiba-tiba kamera mengalami gangguan. Alhasil muncul blok memutih lurus di tengah, “cacat” yang justru membangun efek ilusi artistik.

Baca juga Purjito Mengeja Ibu Kehidupan

“Saya membidik single piece dari objek foto. Misalnya saya lihat batu, saya bidik bagian paling unik dari  batu itu, bukan keseluruhan batu,” ujar Hartono saat pembukaan pameran.

Aku di Dalam Aku (2013) tercipta setelah dia melihat sepeda motor kawannya baru saja distandar miring dan dikunci, yang dia bidik dari belakang. “Sekali lihat, wah pas ini komposisinya, tidak perlu diapa-apain lagi. Langsung saya ambil kamera.”

Itu sebab, lanjut Hartono, setiap pergi hunting foto, ke Nepal atau tempat lain, dia tidak se-ngoyo yang lain. Dia bisa menemukan objek menarik dari mana saja.

Baca juga Suleyman Gunduz dan Potret Yerusalem dari Zaman ke Zaman

Hartono menyebut karyanya sebagai “fotografi abstrak”, yang dirancang untuk ditafsirkan dari perspektif metamorf, filosofi yang menjadi inti dan kekuatan karyanya. Cara ini menghasilkan warna-warna tak terduga dari lapisan pasir di laut atau dari bebatuan tajam di alam sekitar. Dan ketika foto-foto lamanya dia beri sentuhan akhir dengan dicetak di atas medium lain, untuk pameran ini dicetak di atas alucabon, hasilnya mengundang penafsiran yang lain lagi.

“Berdasarkan subjek tangkapan kameranya, Hartono memberi sentuhan seni digital yang merupakan penuntun ke karya selanjutnya yang akan ia tuntaskan di atas segala media. Karyanya berada dalam kategori gabungan media,” tulis Kepala Divisi Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Oscar Motuloh dalam pengantar pameran.

Baca juga Roso dan Kembara Garis Maestro Lukis Srihadi

Landasan bagi kompilasi karya Hartono adalah fotografi alam, sejak 1975, yang merupakan minat utamanya. Kemampuan membaca fotografi berawal dari pekerjaannya di bidang periklanan yang membuatnya sering mengunjungi banyak tempat dan mengambil contoh foto untuk klien.

Seiring waktu, cara kerja fotografi Hartono menjadi satu bentuk “fotografi hibrida” yang menggabungkan teknologi dan atmosfer alam dengan bidikan-bidikan yang unik, spesifik, dan detail. Terbentuklah karya yang imajiner dan interpretatif, tampak abstrak walaupun sebenarnya objek benda tersebut realistis.

Baca juga Goresan Srihadi di Lembar Kertas

Hartono terus mengembangkan ide-idenya ke dalam lukisan dan karya tiga dimensi. Tak jauh-jauh dari impresi karya fotonya, karya lukis Hartono abstrak, impulsif, dan imajinatif dengan warna yang terkadang minim.

“Karya-karya lukisnya tampak sekali ingin melakukan respons terhadap apa yang dia lihat dan rasakan atas segala fenomena keseharian yang mengepungnya tanpa harus menjadi nyinyir dan verbal. Semuanya dia bungkus dengan ‘bahasa’ metaforis yang lugas, sederhana, tapi mengena,” kata kurator Heri Kris.

Baca juga Satu Simpul Dua Budaya Entang dan Sally

Lukisan-lukisannya digarap setelah imaji ide terbangun walau terkadang Hartono menemukan objek tidak terduga untuk kemudian diproses menjadi karya. Ambil contoh ketika ada penyembelihan sapi, dia melihat sebongkah daging yang dipandang artistik. Setelah melewati sebuah bidikan, akhirnya ditransformasikan ke dalam kanvas menjadi lukisan yang abstrak namun realistis berjudul Sapi Loeh (2017).

Hartono kini mendalami lukisan dengan alasan lukisan dapat bermakna lebih dalam. Senimannya juga “tak memerlukan” alat, selalu berimajinasi tinggi tentang komposisi sampai catnya.

Tjahjadi Hartono lahir di Jakarta, 23 Januari 1952 dan sejak kecil senang melukis. Hobi ini sempat ditinggalkan karena kesibukannya berwiraswasta.

Selulus SMA dia tidak meneruskan kuliah. Ketika bertemu kawan yang mengerjakan papan iklan dan sedang memerlukan tenaga untuk sket, Hartono pun mengerjakan tugas tersebut. Ini menjadi pijakannya untuk berwiraswasta di bidang periklanan sejak 1975.

Baca juga Mengindra Sketsa Sang Maestro

Pada 1998, bapak tiga anak ini belajar fotografi untuk melengkapi keperluan usaha, yaitu outdoor advertising, yang saat itu sedang mengalami perubahan teknologi ke arah digital dan membuatnya harus beradaptasi dengan perubahan itu.

Pada 2000 dia mengundurkan diri dari perusahaan karena faktor kesehatan, meninggalkan Jakarta pindah ke Ubud, Bali. Waktu luang yang banyak setelah di Bali dia gunakan untuk memotret dan melukis. Setelah hampir 20 tahun menekuni dunia fotografi, Hartono kini kembali menekuni talentanya yang lain, melukis.

***
Dimuat di majalah SARASVATI edisi Oktober 2017

Covr_Edisi_47

2 Replies to “Yang Selesai di Horizon Tjahjadi Hartono”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.