Suwe Ora Jamu, Amsal Syukur Penyeimbang Hidup

suwe ora jamu, petogogan
Usia peminum jamu kini makin muda, 18-35 tahun, walau yang diminum umumnya jamu sebagai minuman ringan. (Foto: Silvia Galikano)

Nova dikenalkan jamu bukan hanya yang pahit, melainkan ada juga sebagai minuman segar yang berkhasiat untuk kesehatan, seperti kunyit asam, beras kencur, dan sinom (daun asam muda).

Oleh Silvia Galikano

Nova kecil di Surabaya mengakrabi pemandangan eyangnya tiap pagi minum jamu terbuat dari susu-telur-jahe-madu, lalu tiap malam menyesap sup dengan banyak bumbu jahe. Menu wajib setiap harinya adalah sayur dan berpantang daging merah. Usia eyang kini 97 tahun, sehat walau fungsi tubuhnya sudah menurun.

Baca juga Bakoel Koffie, Ikhtiar Melanjutkan Garis Kopi

Jamu pula yang dibiasakan ibunya kepada keluarga sebagai obat untuk keluhan-keluhan ringan. Bahannya tak sulit, misal temulawak untuk menjaga stamina, jahe untuk masuk angin dan yang berkaitan dengan perut, alang-alang  untuk radang tenggorokan dan panas dalam, rosella untuk flu, kencur  untuk batuk, serta bunga telang untuk menyehatkan panca indra dan mencegah efek radikal.

“Saya juga diwajibkan minum jamu sehat wanita begitu mendapat haid pertama,” ujar Nova saat dijumpai di Suwe Ora Jamu di Jalan Petogogan, Jakarta, akhir September 2017.

Jamu bukan sekadar budaya keseharian di rumah Nova, namun sudah menjadi energi spiritual seiring pembuatannya yang menyertakan doa pribadi serta melibatkan perasaan dan pemikiran. Hasilnya, segelas racikan rasa syukur atas penyeimbang hidup.

Nova Dewi Setiabudi Mathovani bersama suaminya, Uwi Mathovani, adalah pendiri Suwe Ora Jamu, kedai jamu yang menyajikan aneka jamu dan hidangan tradisional. Saat ini, Suwe Ora Jamu memiliki empat cabang, yakni di Petogogan, di Bentara Budaya Jakarta, di Warung Jati,​ dan di Salihara, semua di Jakarta.

Baca juga Cita Rasa Retro Terus Dirindu

Perbincangan kami terhenti sebentar oleh telepon masuk ke ponsel Nova, dari pelanggan yang memesan kunyit asam untuk putrinya yang berusia 17 tahun dengan kondisi alergi sesuatu. Nova kemudian menindaklanjuti isi perbincangan di telepon itu dengan memberi arahan kepada karyawannya.

suwe ora jamu, petogogan
Nova dan Uw menggunakan ruko tiga lantai milik Uwi sebagai kedai jamu mereka. (Foto: Silvia Galikano)

“Sewaktu kecil saya pernah dirawat di rumah sakit karena gejala tipus setelah kelelahan berlatih marching band. Sekali itu saja saya dirawat dan rasanya tidak enak sama sekali, badan ditusuk-tusuk. Akhirnya saya termotivasi untuk sehat. Bahwa sehat itu berkah dan harus dijaga,” ujar Nova.

Baca juga Tersenyumlah, Kau Akan Tambah Cantik

Saat itu, tak banyak temannya yang minum jamu. Gambaran jamu sebagai minuman orang sepuh dan rasanya pahit masih demikian kuat. Sedangkan Nova dikenalkan jamu bukan hanya yang pahit, melainkan ada juga sebagai minuman segar yang berkhasiat untuk kesehatan, seperti kunyit asam, beras kencur, dan sinom (daun asam muda).  Ramuan jamu juga untuk dibalurkan di tubuh (boreh) dan wajah (masker).

Lahirnya Suwe Ora Jamu
Bermula dari tak ingin menjalani LDR (long distance relationship – hubungan jarak jauh) dengan Uwi, Nova berencana pindah dari Surabaya ke Jakarta. Selain ada Uwi, di Jakarta ada adik bungsunya juga. Namun muncul pertanyaan, di Jakarta mau ngapain?

Sulung empat bersaudara ini akhirnya kembali ke hal yang sudah dikenalnya seumur hidup, jamu. Namun Jakarta berbeda dengan kota-kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang mudah menemukan menu jamu di restoran dan warung makan. Di Jakarta, kedai jamu adalah kedai kecil khusus untuk minum jamu, dan yang datang biasanya laki-laki. Nova ingin berbisnis jamu dengan tempat yang nyaman dan ditujukan bagi siapa saja.

“Kalau cuma menjual jamu, tanpa ada tempat (kedai)-nya, tak bisa maksimal. Dengan adanya tempat, kita bisa bercerita.”

Baca juga Melihat Suku Asli Sabah di MariMari

Maka dengan latar belakang Nova pernah bekerja di bidang di restoran dan jadi barista saat kuliah S1 dan S2 di Australia, serta sama-sama menyukai jamu, Nova dan Uwi memberanikan diri membuka kedai jamu.

Tak sulit-sulit mencari lokasi kedai. Pasangan ini menggunakan lantai dasar dan lantai 3 ruko milik Uwi. Lantai 2 adalah gudang dan tempat Uwi, seorang desainer grafis, melakukan proses quality control karyanya sebelum diserahkan ke klien. Jika lantai dasar sebagai non-smoking room, lantai 3 untuk smoking room.

suwe ora jamu, petogogan
Teras Jamu dengan konsep terbuka untuk smoking room. (Foto: Silvia Galikano)

Persiapan pun dilakukan sejak 2012 dengan merenovasi ruko dan mempersiapkan peralatan. Sementara untuk tes pasar  sekaligus menyempurnakan rasa dan komposisi, mereka menyuguhkan jamu racikan sendiri kepada tamu-tamu dengan mencampur rosella dan strawberry, lalu ada kalanya ditambah lagi dengan kayu manis. Baru setahun kemudian, Februari 2013,  Suwe Ora Jamu resmi berdiri.

Nama Suwe Ora Jamu dipilih, menurut Nova, semacam ungkapan, “’Sudah lama ngga ngobrolin jamu nih. Sudah lama tidak berinterakasi dengan jamu.’ Semoga dengan nama ini bisa menjadi wadah kita menikmati jamu sambil bercerita dan bertemu teman di tempat yang nyaman.”

Baca juga Revolusi Rasa dari Secangkir Kopi

Konsep jadul pun dipilih sebagai tema utama kedai jamu mereka dengan alasan pasangan yang menikah pada 19 Oktober 2014 itu sejak kecil sudah akrab dengan perabotan kuno milik nenek.  Rumah keluarga Nova di Jalan Bubutan Gang 5, Surabaya, dibangun pada 1890, terjaga keasliannya sampai sekarang dan kerap didatangi mahasiswa arsitektur sebagai objek penelitian.

Demikian pula rumah keluarga Uwi di Bandung yang bergaya art deco, dibangun pada Masa Bersiap. Banyak juga perabotan dari Bandung yang akhirnya dibawa ke kedai Suwe Ora Jamu.

Asalnya, kedai ini hanya ditangani mereka berdua ditambah seorang karyawan untuk mencuci piring. Uwi mengurus pesanan tamu, dan Nova di dapur, walau kadang mereka bertukar peran.

Seiring waktu, Suwe Ora Jamu makin dikenal, tamu pun makin banyak. Tanah di belakang ruko akhirnya dibeli untuk perluasan Suwe Ora Jamu, menjadi Teras Jamu dengan konsep terbuka untuk smoking room.

Sedangkan lantai 3 yang awalnya untuk smoking room, digunakan sebagai ruang kelas, tempat Nova memberi pelatihan singkat (workshop) membuat jamu yang menampung 15 peserta setiap sesinya.

Baca juga Menyesap Hangat Kopi Pipikoro

Workshop menjadi bagian penting dari Suwe Ora Jam sebagai upaya mendekatkan masyarakat dengan budaya minum jamu. Bahkan banyak sekolah di Surabaya yang mengundang Suwe Ora Jamu untuk membuat workshop di sekolah. “Kalau pengetahuan tidak dibagi, orang-orang Indonesia makin jauh dari budaya minum jamu. Padahal jamu itu milik Indonesia, bukan milik saya pribadi,” kata Nova.

Gerai dan online
Sejak tiga tahun lalu Suwe Ora Jamu punya dapur (rumah produksi) di Bali dan dua bulan lalu di Surabaya, selain dapur yang ada di Jakarta. Bedanya dengan di Jakarta, Suwe Ora Jamu di Bali dan Surabaya dijual secara online, membuka booth di bazaar, titip jual di tempat yoga dan kafe, serta di hotel. Kualitasnya tetap dikontrol dari Jakarta.

suwe ora jamu, petogogan
Pelatihan singkat membuat jamu di lantai 3 Suwe Ora Jamu Petogogan Jakarta. (Foto: Silvia Galikano)

Seluruh proses dilakukan secara tradisional, termasuk penempelan label dilakukan dengan tangan, satu demi satu. Benda “paling modern” hanyalah blender, pengganti pipisan di dapur tradisional.

Bahan-bahan jamu, yakni macam-macam rimpang, dipasok dari Desa Simpenan di Pelabuhan Ratu, sedangkan brotowali dan jati belanda dari dataran tinggi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selain itu, ada kerja sama dengan Universitas Udayana dalam bentuk kampus menanam bahan baku jamu, nanti hasil panennya dibeli Suwe Ora Jamu. Kerja sama dilakukan pula dengan Jamu Iboe yang memasok jamu pahitan.

Baca juga Emi Rose Sang Pembaca Ampas Kopi

Upaya mengakrabkan jamu ke masyarakat umum, terlebih kalangan muda, kini membuahkan hasil. Nova pernah membuat riset pada 2012 saat persiapan membuka kedai, menunjukkan hasil peminum jamu berada di rentang  usia 40 – 60 tahun.

Namun sekarang, usianya makin muda, 18 – 35 tahun, walau yang diminum umumnya jamu sebagai minuman ringan, misal rosella, wedang jahe, dan kunyit asam. Tinggal menunggu waktu saja untuk “naik tingkat” ke jamu yang tidak manis, hingga pahit.

Dengan pasar yang besar dan berbeda-beda, kedai yang menunjang jamu sebagai gaya hidup, dan tim dan jejaring yang solid, tak berlebihan jika Nova berharap jamu tidak hilang ditelan masa.

***
Dimuat di majalah SARASVATI edisi November 2017 dan sarasvati.co.id, 22 November 2017

Cover_Sarasvati_48

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.