Untuk Lasem, Roemah Oei Buka Gerbangnya
Di Sumbergirang, Lasem, Kabupaten Rembang, sedang disiapkan museum keluarga sekaligus pusat edukasi, seni, budaya, dan kuliner Lasem bernama Roemah Oei.
Oleh Silvia Galikano
Roemah Oei asalnya adalah rumah kong (rumah induk milik bersama) keluarga Oei yang usianya sudah 200 tahun yang berdiri di lahan seluas 2000 meter persegi. Pemilik saat ini adalah Oei Lee Giok (Grace Widjaja).
Setelah lama menjadi rumah tinggal, kini Roemah Oei membuka pintunya lebar-lebar kepada umum yang ingin belajar tentang keluarga Oei, terbentuknya permukiman Tionghoa di Lasem, serta Lasem secara luas.
Sebelumnya, siapakah Oei?
Adalah Oei Am, pria kelahiran Fujian, Tiongkok, tahun 1798. Pada 1813, saat usianya 15 tahun, dia mendarat di Lasem dan jadi generasi pertama marga Oei yang tinggal di Lasem.
Dua tahun kemudian, Oei Am menikahi putri Jawa-Lasem yang pandai menari dan membatik, diberi nama Tjioe Nio (tjioe berarti manis/cantik).
Pada 1818, Oei Am mendirikan rumah di Jalan Jatirogo 10 yang kelak menjadi rumah kong. Setelah Oei Am wafat dalam usia 40 tahun, rumah dihuni putera sulungnya, bernama Oei Thian Ho, pedagang tapioka dan ketan hitam.
Generasi berikutnya yang menghuni rumah tersebut adalah putera Oei Thian Ho, Oei Joe King, pemilik usaha cikar (kereta kuda), sehingga rumahnya dikenal sebagai koplak (terminal kuda).
Rumah kong Oei kemudian turun ke putera sulungnya, Oei Gwat Ie yang bersama istri memiliki usaha pembuatan batik. Mereka memiliki delapan anak.
Yang sulung, Oei Tiong Djioe (1904 – 1989), walau lahir di rumah ini, dia pindah ke Semarang setelah menikah. Rumah pun dihuni keluarga jauh. Di Semarang, Oei Tiong Djioe menjadi pemimpin masyarakat Tionghoa (lothia atau wali kota bagi masyarakat Tionghoa) dan aktif dalam pergerakan, di antaranya dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Oei Tiong Djioe, pada rentang 1965-1970, akhirnya membeli (menorok) rumah ini kepada seluruh keturunan Oei Am yang masih memiliki hak atas rumah tersebut. Nama rumah kong pun gugur karena pemiliknya bukan lagi bersama-sama, melainkan satu orang.
Oei Tiong Djioe punya lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki bungsu bernama Oei Bie Ing (1932 – 2001). Ketika Oei Tiong Djioe wafat pada 1989, rumah ini kembali menjadi rumah kong.
Ada sedikit cerita mengapa penerus rumah ini perempuan, bukan anak laki-laki, dari Oei Tiong Djioe.
“Sejak Oei Tiong Djioe meninggal hingga ayah saya meninggal tahun 2001, tidak ada pembicaraan mengenai rumah ini,” ujar Oei Ling Hiem (Himawan Winata), 53 tahun, putera Oei Bie Ing, saat dijumpai di Lasem, 17 Februari 2018.
Setelah itu, sekira 2002-2003, baru Oei Bie Kiem (perempuan), sekarang 88 tahun, anak ke-4 Oei Tiong Djioe, mengambil estafet rumah ini.
Oei Bie Kiem yang menikah dengan marga Oei dari Yogyakarta lantas melimpahkan kepemilikan rumah kepada anak ke-2, Oei Lee Giok (Grace Widjaja, 60 tahun).
Keluarga besar Oei-Lasem pulang kampung ke rumah ini tiap Ceng Beng (hari tilik makam), sebelum mendatangi makam leluhur yang banyak di Lasem. Keturunan Oei Am yang sudah terdeteksi saja jumlahnya tak kurang 500 orang dan mencapai sembilan generasi. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya rumah ini dalam peristiwa setahun sekali itu.
Mulai 2016, rumah tersebut direnovasi untuk dijadikan museum keluarga Oei dan rumah heritage peranakan Tionghoa. Wawan, sapaan akrab Himawan, yang bertanggung jawab mengawasi renovasinya.
Keasliannya dipertahankan, kecuali reng yang diganti baja ringan. Meja sembahyang masih berasal dari generasi pertama, sedangkan kong po (lemari papan arwah) dari generasi ke-2 yang dibuat untuk orangtuanya.
Di bagian belakang sedang dibangun penginapan 10 – 13 kamar yang dijadwalkan rampung akhir Maret 2018 agar saat Ceng Beng yang jatuh pada 5 April 2018, Roemah Oei sudah siap didatangi keluarga besar Oei.
Di courtyard tengah, antara bangunan utama dan penginapan, akan dibuat panggung permanen yang tiap purnama bakal memanggungkan kesenian tradisi Tionghoa maupun kesenian Lasem. Di courtyard tengah pula sejak dahulu ada sumur besar (diameter 2 meter) yang kini diberi nama Soemoer Soember Girang, diambil dari nama desa tempat berdirinya rumah ini.
Di depan, sederet dengan gerbang, sudah berdiri kedai kopi lelet dan kedai makanan Lasem, seperti kelo mrico, semur lodeh, mangut iwak pe, dan dempul urang. Halaman Roemah Oei yang diteduhi pohon sebagai ruang makannya, yang bikin rasa hidangan makin sedap.
Jadi, kamu, kapan kamu ke Lasem?
***
Dimuat di Sarasvati.co.id, 1 Maret 2018
Tengah tahun lalu masih belum jadi sebagus gambar mbak Silvi. Ahh jadi pingin main ke Rumah Oei lagi setelah baca sejarah hebatnya. Dulu sempat bertemu dengan seorang bapak asal Semarang, lupa namanya. Namun dia sempat bercerita sedikit tentang leluhurnya yang membawa marga Oei di Lase. 🙂
Datang lagi saja, Pak Halim. Mungkin sekalian wkt Ceng Beng
Sepertinya aku harus ke lasem sambil ngonthel sepeda lipat nih. Suasana rimbun dan lekat kental akulturasi budayanya.
ayo, hafidh, ke lasem
Saya menikmati malam pergantian tahun kemarin sambil ngopo lelet di rumah oei ini. Benar-benar damai, tanpa hingar bingar. Meski diadakan acara lewat tengah malam. Bahkan saya tak mendengar letupan kembang api maupun petasan sebagaimana perayaan pergantian tahun di tempat lainnya.
walau cuma ngobrol, kebayang asyiknya.
Saya cucu Oei Ing Djoen isterinya Liem Bik Nio.
Adiknya Oei Bwan Nio itu Oei Sioe Lam.
Oei Sioe Lam nikah dng Tjoa Sik Nio.
Waktu sd sampe 2000 masih punya kunjungan dari Surabaya bersama kong Tjoa Tjong Bie ke Rembang tengok ngkong Tjoa Tjong Hing sambil wisata makan.
Opa Tjoa Tjong Han di Gambiran naik sepeda pake baju piyama kesana sini.
Terima kasih atas atensi bikin history ini.
Salam
Oei hok sian.
3/26/2018
Notes teman Sugiri Kustedja ahli klenteng dari bandung.
Saya dipanggil dg nama ie hwa .. waktu kecil usiaku SD kelas 2-3 .. dulu aku pernah dititipkan ke uwakku (Bulik adeknya papaku perempuan..namanya HOK NIO) kami dulu tinggal di Jatirogo no …lupa tapi aku ingat rumah engkong ku itu.. berpuluh tahun aku sekarang berusia hampir 49th..aku hanya ingat kalo uwakku HOK NIO telah menikah dan pindah ke Karang Turi 4 ( karena rumah Jatirogo telah dijual oleh papaku nama Chinese nya DJIE SIONG)..aku mau mencari garisketurunan yg udah hampir hilang ini..aku harus bagaimana ya mbak Silvia Galikano …mohon petunjuk. Nama engkongku aku lupa.. beliau dimakamkan dg upacara adat yg besar” an saat itu.. terimakasih atas informasinya
Salam kenal Ibu Eva.
Bisa japri saya via WA 08121-193-1903.
Cerita Hok Sian nyambungnya ke artikel Merawat Marwah Rumah Tjoa ya?
https://silviagalikano.com/2018/03/13/marwah-rumah-tjoa/
Cerita tentang opa Tjoa Tjong Han dikonfirmasi ibu Melani.
Menarik ya.
Menarik sekali ngulik sejarah Lasem! Kapan-kapan saya harus ke sana.
Betul, Pak, harus ke Lasem
Sylvia yth, banyak terima kasih utk tulisan anda yg sangat menarik. Sesydah Imlek y.a.d, saya akan menginap de Roemah Oei.
Khoe Liong Hoey (dari Belanda)
Sama-sama. Terima kasih juga sudah singgah di blog saya
Saya dan istri baru berkunjung ke Lasem dan sekitarnya ( 4 – 5 Feb 2019 ).Sempat ngobrol dgn bung Himawan.
Sayang saya baru baca tulisan anda setelah kembali ke Jakarta.
Mungkin anda memiliki referensi tentang Pati dengan ” Istana Residen ” nya.
Saya belum pernah ke Pati, Pak Rudy.
Semoga suatu hari bisa ke Pati dan mengunjungi Istana Residen
Saya dipanggil dg nama ie hwa .. waktu kecil usiaku SD kelas 2-3 .. dulu aku pernah dititipkan ke uwakku (Bulik adeknya papaku perempuan..namanya HOK NIO) kami dulu tinggal di Jatirogo no …lupa tapi aku ingat rumah engkong ku itu.. berpuluh tahun aku sekarang berusia hampir 49th..aku hanya ingat kalo uwakku HOK NIO telah menikah dan pindah ke Karang Turi 4 ( karena rumah Jatirogo telah dijual oleh papaku nama Chinese nya DJIE SIONG)..aku mau mencari garisketurunan yg udah hampir hilang ini..aku harus bagaimana ya mbak Silvia Galikano …mohon petunjuk. Nama engkongku aku lupa.. beliau dimakamkan dg upacara adat yg besar” an saat itu.. terimakasih atas informasinya