Maktuo Cengkareng

Saya pernah sebut “Maktuo Cengkareng” di tulisan berjudul Maktuo Jatiasih
Nama Maktuo adalah Djusna Asif (Bukittinggi 1934 – Jakarta 1995), kakak sulung papa. Nama gadisnya (née) adalah Djusna Husin.
Semasa kuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan di Universitas Indonesia (UI), Maktuo tinggal di asrama mahasiswa UI, Wisma Rini, di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Baca juga Senandung Sejuk Payung Teduh
Papa, yang saat itu baru merantau ke Jakarta dan tinggal bersama famili di Cempaka Putih, selama beberapa waktu sempat menggunakan alamat Wisma Rini (atas nama kakaknya, tentu saja) sebagai alamat surat menyurat.
Kelak, dari nama wisma inilah diambil sebagai nama panggilan adik saya, almh. Imelda Roselino (1976 – 1988), yang sering dikomentari orang, “Kok nama panggilannya ngga nyambung sama nama lengkapnya?”

Sebelumnya, Maktuo adalah lulusan SMA yang menjadi pustakawan di Fakultas Pertanian Universitas Andalas, kemudian mendapat beasiswa untuk kuliah di UI.
Sambil kuliah, Maktuo bekerja sebagai pustakawan di Yayasan Idayu milik Masagung (Tjio Wie Tay, 1927 – 1990) yang juga pemilik jaringan toko buku Gunung Agung.
Baca juga Tjokroaminoto Sang Guru dari Peneleh
Uang beasiswa tiap bulan dijemput Paktuo Uda Eri ke kampus untuk diberikan ke Biai, nenek saya. Sementara Maktuo hidup dari penghasilannya sebagai pustakawan Idayu. Mungkin karena keenakan bekerja, kuliahnya tidak ditamatkan.

Kantor Idayu di Gedung Kebangkitan Nasional (ex Stovia, sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional) di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Nama Idayu diambil dari nama ibunda Sukarno, Ida Ayu Nyoman Rai. Masagung berkawan akrab dengan Sukarno.
Sebelum menjadi kantor Idayu, Gedung Kebangkitan Nasional pernah digunakan sebagai penampungan ex KNIL sejak Kemerdekaan. Ruangan-ruangan luas disekat-sekat semipermanen menggunakan tripleks.
Baca juga Joseph Johannes, Pria Armenia dari Bukit Simongan
Ketika akhirnya Gedung Kebangkitan Nasional hendak direnovasi untuk dijadikan museum pada 1973, pemerintah menyediakan perumahan di Cengkareng bagi ex KNIL tersebut. Maktuo ikut membeli salah satu rumah di sana, di Jalan Berlian.
Karena umumnya ex KNIL adalah orang-orang Maluku, kawasan ini kemudian dikenal dengan nama Kampung Ambon.

Yayasan Idayu kemudian pindah ke Jalan Kwitang no 13, Jakarta Pusat.
Penghormatan Maktuo kepada Masagung demikian besar. Saya simpulkan itu ketika beliau bercerita tentang wafatnya Masagung. Laki-laki baik itu ditemukan di atas kursi goyang di rumahnya, masih menggenggam tasbih usai shalat subuh, sudah tak bernapas.
Baca juga Hentikan Tragedi Nol Buku
Maktuo bekerja di Yayasan Idayu sampai pensiun, tahun 1994, dan wafat setahun kemudian.
Yayasan Idayu tutup tahun 2006 setelah hidup selama 40 tahun. Koleksinya diserahkan ke Perpustakaan Nasional RI.
***
Foto-foto saya dapatkan di Perpustakaan Nasional pada Kamis 21 November 2019.