Rumah Kranggan dan Kisah Jaya Thio Sing Liong

Properti milik Thio Sing Liong dari abad ke-19 masih tersebar di sejumlah tempat di Semarang. Satu di antaranya gedung yang ditempati Toko Oen di Jalan Pemuda.
Oleh Silvia Galikano
Dari jalan besar di Jalan Wahid Hasyim (dahulu Kranggan Timur), Semarang, rumah bernomor 24 ini nyaris tak terlihat. Selain menjorok beberapa belas meter dari jalan raya, ada pohon besar yang tumbuh persis di depan rumah, penghalang pandang yang sempurna dari jalan.
Baca juga Bakoel Koffie, Ikhtiar Melanjutkan Garis Kopi
Ditambah lagi bentuk lahannya ngantong atau mangku: kecil di depan dan melebar di belakang, sehingga terkesan tertutup oleh toko-toko lain di kanan kirinya. Tapi jangan salah, bentuk ngantong diyakini masyarakat Tionghoa dapat membawa hoki.

Warga sekitar menyebutnya “Rumah Gedong”. Masyarakat sepuh menjulukinya “Rumah Abu” sebab di sana kongpo (lemari altar) berisi abu tempat menancapkan hio serta menyimpan sinci (papan arwah) yang disembahyangi keluarga.
Hingga awal 1960-an, masih ada plakat marmer bertuliskan “Rumah Abu Thio Sing Liong” terpasang di tembok pagar di tepi jalan. Plakat itu tak diketahui keberadaannya sekarang. Untuk keperluan tulisan ini, saya menyebutnya Rumah Kranggan, mengacu pada lokasinya di Kranggan Timur, Semarang.
Baca juga Gereja Sion, Dari Rumah Ibadah Portugis Hitam
Rumah Kranggan, yang berdiri di lahan seluas 3300 meter persegi, dilekatkan dengan nama Thio Sing Liong (1871 – 1940), pengusaha properti dan pengekspor rempah-rempah di bawah firma N.V. Thio Sing Liong.

Walau sudah hampir 80 tahun lalu tutup usia, properti milik Thio Sing Liong sampai sekarang masih tersebar di sejumlah tempat di Semarang. Dua di antaranya adalah gedung Lloyd Indonesia yang berdampingan dengan bangunan yang dikenal instagrammers dengan julukan “Rumah Akar” di pertemuan Jalan Kepodang dan Jalan Roda II, Kotalama; serta gedung yang ditempati Toko Oen di Jalan Pemuda.
Baca juga Rumah Ungaran
Belum diketahui pasti kapan Thio Sing Liong membeli Rumah Kranggan. Yang jelas, ketika anak laki-lakinya, Thio Thiam Tjong, lahir pada 1896, Thio Sing Liong dan istri pertama sudah menempati rumah ini. Masa itu adalah masa jaya Sing Liong.
Ada beberapa teori yang menerangkan asal mula kepemilikan rumah ini oleh Thio Sing Liong. Teori pertama, Sing Liong membelinya dari seorang Belanda. Teori kedua, rumah ini dahulu milik Tasripin (wafat 1919), pengusaha kulit asal Semarang.
Teori ketiga, Sing Liong membelinya dari Kwee Lian Tjong, kontraktor rumah yang pada akhir abad ke-19 membeli petak-petak di sekitar Beteng dan membangunnya. Dia juga membangun rumah tinggalnya sendiri yang berukuran besar dengan taman indah, asal mula daerah tersebut dikenal dengan nama Kebon Lancung (dari panggilan “Bah Lian Tjong”).
Baca juga Rumah Singa di Pasuruan
Keluarga, diwakili generasi keempat Thio Sing Liong, Mestika Djoeachir Hardjanegara (kelahiran 1946) meyakini bahwa Rumah Kranggan dahulu dibeli dari Tasripin. Meis, sapaan Mestika, adalah cicit Thio Sing Liong dari istri kedua, Tjoa Kwat Nio.
Rumah Kranggan terdiri dari satu bangunan utama yang diapit dua bangunan sayap/paviliun di timur dan barat. Ditinjau dari desain bangunan, pengamat arsitektur menyebutnya rumah sudagaran.

Bangunan utama dan paviliun tidak dibangun pada masa bersamaan. Bangunan asalnya dari abad ke-19, lalu pada awal abad ke-20 bangunan utama dan sayap barat bagian depan direnovasi menjadi seperti tampilan sekarang.
Atap bangunan utama berbentuk limasan dengan bagian muka berhias gunungan gaya Eropa Selatan. Kolom dan dinding, serta lantai teras berlapis marmer.
Baca juga Rumah di Genteng Candirejo Surabaya
Sejajar dengan teras depan, di sisi timur, adalah ruang tempat meletakkan kongpo. Di kongpo ini dipasang foto Thio Sing Liong dan istri ketiga, Goei Khwan Nio; serta ayah Thio Sing Liong, Thio Koen Loen.
Ini terbilang unik, sebab kongpo di rumah-rumah keluarga Tionghoa umumnya diletakkan di tengah-tengah ruang depan, bukan di kamar tersendiri yang tertutup seperti di rumah ini.

Gayawati Hardjanegara (kelahiran 1947), adik Meis, saat ditemui di Rumah Kranggan, 27 Maret 2019, menuturkan, kongpo dulunya ada dua. Satu berada di ruang tamu, tepat di posisi piano sekarang dan satu lagi di ruang kongpo ini. Kemudian oleh orangtuanya dijadikan satu di lokasi sekarang.
Bangunan utama Rumah Kranggan terdiri dari satu ruang tamu, ruang tengah, dan empat kamar tidur. Semua dalam ukuran besar. Daun pintu dan jendelanya berpanel kaca serta kaca patri dengan ornamen flora, fauna, dan perempuan. Masih terlihat tulisan kota asal pembuatannya, yaitu Rotterdam, Belanda.
Baca juga Rumah Dua Langgam di Lereng Sindoro-Sumbing
Jika dinding di teras berlapis marmer, seluruh dinding dalam rumah berlapis keramik setinggi 1,5 meter dari lantai. Keramik kuno berukuran 15x15cm itu berornamen floral dan kapal layar yang bertekstur (embos). Lantainya dari marmer dan ubin berpola.
Paviliun barat digunakan sebagai bangunan servis, sedangkan paviliun timur dimanfaatkan sebagai toko jeans bernama Bandung Jeans milik Gayawati dan suaminya, Yudi Soetantyo.
Di halaman samping terdapat pagar kawat setinggi 2 meter yang melintang dari rumah utama ke paviliun barat. Di pintu pagarnya terdapat plakat bertuliskan “N.V. Thio Tjoe Pian”, nama perusahaan di bawah yayasan keluarga Thio Tjoe Pian yang dibentuk oleh Thio Sing Liong pada 1918, mengambil nama kakeknya.
Baca juga Hotel Sidji dan Anggunnya Rumah Letnan Tionghoa
Ditemui di kediamannya di daerah Banyumanik, Semarang, 18 Desember 2019, Meis menjelaskan mengenai N. V. Thio Tjoe Pian. Yakni bersebab ada aturan bahwa yayasan tidak dibolehkan memiliki aset, maka Thio Sing Liong membuat tiga perseroan terbatas (naamloze vennootschap – N. V.), yakni N. V. Thio Tjoe Pian (bergerak di bidang penyewaan properti dan kontraktor), N. V. Martens (penyewaan properti), dan N. V. Akwan (penyewaan properti).
Kantor yayasan sedianya berlokasi di Jalan Kranggan nomor 20 yang dahulu merupakan properti Thio Sing Liong. Setelah bangunan ini dijual, kantor pun dipindah ke paviliun Rumah Kranggan.

Selain berbentuk ngantong, Rumah Kranggan saat ini berposisi tusuk sate dengan Jalan Kanjengan yang membujur di hadapannya. Dahulu Jalan Kanjengan hanya berupa gang kecil yang dilebarkan sesudah dibangunnya gedung Kanjengan pada tahun 1960-an.
Baca juga Dua Rumah Ibadah di Satu Masa
Empat sumur juga sudah ada di Rumah Kranggan saat dibeli dari keluarga Tasripin walau berbeda fungsi dibanding sekarang. Keempat sumur itu berada di depan sebelah kanan dan kiri, serta belakang sebelah kanan dan kiri.
“Mungkin yang di depan sebelah kanan dahulunya untuk istal kuda. Depan-kiri untuk kebutuhan masyarakat sekitar,” ujar Meis.
Sumur untuk kebutuhan masyarakat sampai sekarang masih berfungsi sama, hal yang dipercaya membawa untung bagi penghuni rumah.

Sumur di belakang-kanan diperuntukkan bagi kebutuhan pembantu dan belakang-kiri untuk kebutuhan keluarga. Saat renovasi rumah pada 1962, sumur di belakang-kiri ditutup oleh kontraktor, sedangkan sumur belakang-kanan tetap difungsikan.
Namun karena sumur yang difungsikan ini airnya kurang bagus, mana dekat pula dengan deretan WC dan kamar mandi, akhirnya Gayawati dan suami saat menempati rumah ini memutuskan membuka sumur yang ditutup. Ternyata air dari sumur ini sangat banyak dan bening.
Baca juga Daroessalam, Rumah Gula di Pasuruan
Sumur di halaman (depan-kiri), di bawah rindang pohon jambu biji, sengaja diperuntukkan bagi masyarakat. Para pedagang kaki lima dan warung sekitar dari dulu hingga kini mendapatkan persediaan air untuk lapak mereka dari sumur timba tersebut.
Kedekatan penghuni Rumah Kranggan dengan masyarakat sekitar bisa jadi sebab kerusuhan anti-Cina pada 25 November 1980 tidak menyentuh Rumah Kranggan, sementara toko-toko di sekelilingnya habis dilempari.
Para pedagang kaki lima bersama suami Meis (Djoeachir Djodjosoeseno) yang pribumi menjaga pintu masuk Rumah Kranggan agar massa tetap di jalan, tidak merangsek ke rumah.
Baca juga Lobo, dari Pengadilan sampai Rumah Singgah
Satu lagi yang terbilang unik dari keluarga Thio Sing Liong dibanding keluarga Tionghoa lain dalam hal menempati rumah kong, ternyata sejak generasi kedua, perempuanlah yang menghuni rumah leluhur, walau itu tanpa sengaja.
Awalnya yang tinggal di sini adalah Thio Sing Liong dan istri pertama, Tan Tien Nio. Ketika Sing Liong menikah lagi, Tien Nio tidak suka dengan keputusan sang suami.
Maka istri kedua, Tjoa Kwat Nio tinggal di rumah sederhana di Jalan Mataram, dekat pasar Karangturi, Semarang.
Baca juga Rumah Cilame, Jendela Zaman Emas hingga Masa Kelam
Semua anak dari istri kedua ini kemudian diangkat anak oleh adik Thio Sing Liong dan dibesarkan di rumah Kranggan. Mereka terdiri dari satu laki-laki dan empat perempuan, salah satunya adalah nenek dari Meis dan Gayawati.

Setelah istri pertama wafat, Sing Liong menikah lagi, yakni dengan Goei Khwan Nio. Istri ketiga ini yang kemudian menempati Rumah Kranggan.
Dari tiga istrinya, anak laki-laki Thio Sing Liong hanya tiga orang. Ketiga anak lelaki itu sukses bisnisnya dan setelah menikah memiliki rumah sendiri sehingga “tidak perlu” menempati rumah orangtuanya.
Mereka adalah Thio Thiam Tjwan punya rumah di Jalan Gunung Gebyok, Semarang; Thio Thiam Tjong di Jalan Gajahmungkur, Semarang yang sekarang menjadi restoran Goodfellas; dan Thio Thiam Po yang berprofesi sebagai dokter gigi tinggal di Palembang. Dari tiga putera tersebut hanya Thio Thiam Po yang punya anak laki-laki, tapi meninggal saat muda.
Baca juga Rumah Karawaci, Ketika Waktu dan Pilihan Menipis

Alhasil dari keturunan perempuanlah yang dipanggil untuk menempati rumah kong. Karenanya Rumah Kranggan tidak bisa disebut rumah kong marga Thio, sebab yang menempati sudah beragam-ragam marga, walau masih satu keturunan; dari Thio, Oei, Tjie, hingga The.
Jika dahulu istri kedua Thio Sing Liong, Tjoa Kwat Nio, dilarang tinggal di Rumah Kranggan, sekarang keturunannyalah yang menempati dan memelihara rumah ini.
Berawal dari Oei Tjing Swan (1921 – 2002), anak dari puteri pertama Thio Sing Liong dan Tjoa Kwat Nio, bersama istri pernah menempati rumah ini. Setelah Oei Tjing Swan bercerai pada 1960, dia pindah ke Jakarta.
Agar rumah tidak kosong terlalu lama (pada masa itu, rumah kosong rawan ditempati tentara), keluarga Hardjanegara yang tinggal di Lembang, yaitu Tjie Gik Hok (1923 –1989) serta suami, The Han Lim (Ahmad Hardjanegara), berikut lima anak mereka diminta Thio Thiam Tjong untuk menempati Rumah Kranggan.
The Han Lim dan Tjie Gik Hok tak lain orangtua Meis dan Gayawati. Keluarga Hardjanegara mulai menempati Rumah Kranggan pada 1962.
Baca juga Rumah Jenderal di Jatinegara
Waktu berjalan, anak-anak Hardjanegara sudah membentuk keluarga masing-masing. Rumah Kranggan dihuni Meis dan keluarga.
Pada 1995 Gayawati dan suami pindah dari Bandung untuk tinggal bersama keluarga Meis di Rumah Kranggan. Hingga kemudian pada 2002 Meis dan keluarga pindah ke Banyumanik, Semarang, sejak itu Gayawati dan suaminya menjadi tuan rumah di Rumah Kranggan.

Di balik terpeliharanya narasi tentang Thio Sing Liong, ada kabar getir tentang Rumah Kranggan. Keluarga berniat menjualnya karena beratnya biaya untuk mengurus rumah sebesar itu. Kondisi bangunan yang sudah tua membutuhkan biaya pemeliharaan yang tidak sedikit. Belum lagi pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dalam tahun 2019 telah mencapai Rp97 juta.
Baca juga Rumah Inggit Garnasih
Dapat dimaklumi, bukan perkara mudah bagi keturunan Thio Sing Liong memelihara seluruh aset kongco mengingat segala ongkos pemeliharaan dan PBB yang jumlahnya bukan di angka main-main. Dan tiap tahun bertambah terus jumlahnya.
Kalau begini, apa yang seharusnya dilakukan Pemkot Semarang? Apa pula yang dapat dilakukan masyarakat pemerhati sejarah Semarang dan pencinta bangunan tua?
***

Bersambung ke Mausoleum Thio Sing Liong, Abadinya Sang Taipan
Tulisan yang sangat menarik , menambah informasi tentang tokoh terkenal yang terlupakan oleh generasi muda.
Saya mohon ijin untuk mengambil beberapa foto sebagai tambahan informasi untuk melengkapi video channel YouTube saya ya, nanti saya akan cantumkan sumber foto tersebut. terimakasih sebelumnya
Silakan.