Srihadi dan Kisah Sungai Emas Papua hingga Banjir Jakarta

SRIHADI SOEDARSONO
SRIHADI SOEDARSONO, Horizon – The Energy of Man, Heaven, and Earth, 170x390cm, oil on canvas, 2017. (Foto Silvia Galikano, 11 Maret 2020)

Lukisan-lukisan bentang alam (landscape) karya maestro lukis Srihadi Soedarsono dipamerkan dalam pameran tunggal “SRIHADI SOEDARSONO – Man X Universe” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 11 Maret – 11 April 2020.

Oleh Silvia Galikano

Bayangkan Papua di tahun 1975 ketika hutan perawan masih mendominasi. Dilihat dari udara, menjelang malam, hanya hitam di bawah sana. Lalu tiba-tiba tertangkap pandang ada yang meliuk-liuk indah berkilat-kilat dari ujung ke ujung. Sungai keemasan yang menembus pekatnya hutan Papua.

Pemandangan tersebutlah yang dialami Srihadi saat ditugaskan Pertamina untuk melukis sumur pengeboran dekat Sorong, Papua, pada 1975. Dia tiba di kawasan pengeboran di tengah hutan pada sore hari dengan menumpang helikopter. Akses darat nyaris mustahil sebab jalan aspal hanya sepanjang satu kilometer.

Baca juga Goresan Srihadi di Lembar Kertas

“Alam Papua bagus sekali dilihat dari atas. Hutan sudah gelap. Yang terlihat hanya sungai mengkilat keemasan terkena sinar matahari sore. Kesan ini yang saya tangkap,” ujar Srihadi.

Setelah berselang 45 tahun, Srihadi menghadirkan diskursus tentang Papua melalui dua lukisannya, yakni Papua – The Golden River Belong to Its People (2017) dan Papua – The Energy of Golden River (2017). Keduanya dipamerkan dalam “SRIHADI SOEDARSONO – Man and Universe” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 11 Maret – 11 April 2020.

SRIHADI SOEDARSONO
SRIHADI SOEDARSONO, Horizon – The Power of Life, 160x225cm, oil on canvas, 2016. (Foto Silvia Galikano, 11 Maret 2020)

Pameran yang dibuka Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir ini menampilkan lukisan-lukisan bentang alam (landscape) karya maestro lukis Srihadi yang diproduksi dalam rentang tahun 2016 – 2020.

Seluruhnya ada 44 lukisan yang dipamerkan, terdiri dari 39 lukisan baru, dua lukisan koleksi lama, dan tiga koleksi pribadi.

Karya-karya tersebut antara lain Borobudur (1948), Mt. Merapi- The Energy of Powerful Nature (2016), Borobudur – The Energy of Nature (2017), Horizon – The Golden Harvest (2017), Mt. Bromo – The Mystical Earth (2017), Pure Gunung Kawi – Energy of Pray (2018), dan Jakarta Megapolitan – Patung Pembebasan Banjir (2020).

Baca juga Roso dan Kembara Garis Maestro Lukis Srihadi

Kurator pameran ini, A. Rikrik Kusmara, mengelompokkan 44 karya Srihadi dalam empat rumpun besar, yakni:

  1. Social Critics, berisi karya-karya yang merespons situasi sosial politik. Memuat Papua Series, Bandung Series, dan Field of Salt.
  2. Dynamic, yakni cara Srihadi menginkubasi situasi sosial politik menjadi dinamika gejolak internal dalam karya-karya bertema gunung dan daratan. Memuat Jatiluwih Series dan Energy of Waves.
  3. Human & Nature, tentang renungan Srihadi akan gejolak sosial politik serta daya renungnya terhadap eksistensi manusia di tengah jagad raya yang besar. Memuat Mountain Series, Tanah Lot Series, dan Gunung Kawi Series.
  4. Contemplation, mengajak masuk ke dalam ruang kontemplasi. Memuat Horizon Series dan Borobudur Series.
SRIHADI SOEDARSONO
SRIHADI SOEDARSONO, Mt Merapi – Land of Prosperity, 200x300cm, oil on canvas, 2018. (Foto Silvia Galikano, 11 Maret 2020)

Papua menjadi salah satu seri penting dalam pameran ini, yang diwakili Papua – The Golden River Belong to Its People dan Papua – The Energy of Golden River. Dua lukisan itu adalah tangkapan ingatan Srihadi atas Papua tahun 1975. Tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan kondisi Papua saat ini, ketika tambang meluas, jalan aspal sambung bersambung, dan luas hutan menyusut.

Situasi di Papua hari ini adalah topik yang selalu menarik perhatian dunia dan menjadi komiditas politik. Salah satu sebabnya, Papua memiliki sumber daya alam begitu kaya tapi sekaligus menjadi daerah tertinggal.

“Yang menarik, Srihadi tidak secara eksplisit menggambarkan realitas konteks sosial politik budaya ini, melainkan melalui metafora sungai keemasan (golden river),” Rikrik Kusmara menjelaskan.

Baca juga Srihadi Melintas Zaman

Selain Papua, seri penting lain adalah Borobudur. Ada lima lukisan bertema Borobudur dipamerkan, di antaranya Borobudur – The Energy of Nature (2017), Borobudur – Moment of Contemplation (2017), dan Borobudur – Moment of Meditation (2017).

Pembuka seri ini adalah sketsa Borobudur (1948) yang dibuat saat usia Srihadi baru 17 tahun. Sebelia itu dia sudah menunjukkan intuisi dan ketertarikan terhadap nilai-nilai alam, manusia, dan budaya. Srihadi menggambarkan candi Borobudur dengan pendekatan landscape melalui garis-garis ekspresif.

Sketsa ini sengaja ditampilkan bersama karya-karya mutakhirnya sebagai penanda bahwa sketsa Borobudur-lah cikal bakal Srihadi membuat lukisan-lukisan landscape di kemudian hari.

Seri Borobudur menjabarkan perjalanan candi Borobudur di tangan Srihadi dari tahun 1948 hingga kini. Perjalanan yang bukan tentang perubahan fisik atau visualnya, melainkan bagaimana Srihadi menyuguhkan konsep filosofis dan estetis situs suci tersebut.

Seperti halnya Borobudur – The Energy of Nature. Lukisan yang dibuat pada 2017 itu memvisualkan candi Borobudur dengan latar belakang langit jingga berikut purnama tegak lurus dengan stupa utama. Karya enigmatic ini menjadi simbol puncak proses kontemplasi dan spiritualitas tentang kesadaran akan keberadaan diri dalam siklus bumi, bahkan lebih luas lagi, siklus jagat raya.

SRIHADI SOEDARSONO
SRIHADI SOEDARSONO, Borobudur, 1948. (Foto Silvia Galikano, 13 Jan 2016)

Secara filosofis, menurut Rikrik Kusmara, Srihadi ingin menekankan aspek human, culture, dan universe/nature. Tentang bagaimana manusia membuat Borobudur, bagaimana manusia berada di alam, serta eksistensi manusia sebagai bagian dari mikrokosmos dan makrokosmos.

“Memang hal yang unik jika menelusuri Borobudur, seperti doa keseharian Srihadi untuk kehidupan ini. Karena itu kehadirannya secara estetis selalu berbeda,” ujar Rikrik Kusmara.

Selain itu, ada satu lukisan yang menempatkan Borobudur dalam konteks berbeda, yakni di Mt. Merapi – The Powerful Nature (2018). Candi ini “hanya” sebagai latar depan yang tak tampak jelas bentuknya selain siluet khasnya, mengantar pandangan pada megah dan mistisnya Gunung Merapi. Borobudur menjadi kecil di hadapan alam semesta.

Baca juga Perkara Pelik Lukisan Palsu

“Zikir” Srihadi terlihat lagi di Mt. Bromo – The Mystical Earth (2017). Bromo yang aktif mengeluarkan asap tebal berdampingan dengan Batok yang gunung mati, dilihat dari dekat sekali. Detail komposisi bentuk dan warnanya menguatkan kesan gemuruh sekaligus kontemplatif sebagaimana Srihadi bekerja dalam ruang kontemplasi.

Srihadi melukis landscape layaknya mencatat kejadian-kejadian, merekam perubahan-perubahan sampai hari ini. Seperti tertuang dalam Horizon – The Golden Harvest (2017) yang memampangkan pemandangan panen padi era 1970-an. Penduduk desa bergotong royong, bergantian memanen padi. Sawah luas itu berbatas bukit landai di cakrawala.

Di sisi lain, Horizon – The Golden Harvest mengingatkan kita betapa kalimat “hamparan sawah sejauh mata memandang” adalah pemandangan mustahil hari ini. Tak ada lagi “sejauh mata memandang”, sebab baru saja sependek 20 meter, pandangan langsung terantuk dinding perumahan, atau pagar tinggi villa mewah, atau malah sawahnya sudah masuk dalam properti restoran yang menjual pemandangan sawah.

“Waktu saya kecil diajak kakek berkeliling melihat pemandangan, melihat sawah yang luas. Sekarang, sawah di belakang rumah sudah jadi rumah-rumah,” kata Srihadi.

Fenomena ini menjadi paradoks bagi negeri lumbung padi dan tambak garam tapi kekurangan padi dan garam sehingga harus impor.

Baca juga Kritik dalam Rumah Kaca Museum Seni

Karya yang terakhir diproduksi di antara karya-karya yang dipamerkan adalah Jakarta Megapolitan – Patung Pembebasan Banjir (2020), menyorot bencana banjir besar yang menimpa Jakarta dan wilayah sekitarnya pada 1 Januari 2020.

Air yang menenggelamkan Jakarta divisualkan berwarna merah, bergolak, dan menutup tungkai bawah patung Pembebasan Irian Barat. Latar belakangnya gedung-gedung pencakar langit yang tetap gemerlap oleh lampu, sementara di langit ada gerhana matahari cincin, peristiwa alam yang terjadi sepekan sebelum banjir.

Patung Pembebasan Irian Barat menjadi Patung Pembebasan Banjir bukanlah sekadar plesetan. Ada kekhawatiran besar di sana. Kalau banjir terus bertambah volumenya, merembet terus menaiki kaki patung, bisa-bisa Pulau Jawa sudah tidak kelihatan.

“Penderitaan akan sangat banyak. Kita merdeka sudah 75 tahun, mengapa masih menemui masalah seperti ini?” ujar Farida Srihadi, akademisi seni rupa yang juga istri Srihadi, orang yang mengikuti proses sang suami berkarya.

“SRIHADI SOEDARSONO – Man and Universe” menginterpretasikan keindahan landscape Indonesia sebagai semangat spiritual atas rasa kemerdekaan dan kebanggaan berbangsa. Sebab landscape dalam perspektif Srihadi adalah tema yang lebih dalam dari sekadar lukisan pemandangan yang menghipnotis orang asing untuk datang berkunjung.

Di balik estetika suatu karya ada pergumulan sosial, budaya, bahkan politik, dan inilah yang sedang dikedepankan dalam “SRIHADI SOEDARSONO – Man and Universe”.

Baca juga Yang Selesai di Horizon Tjahjadi Hartono

“Universe itu catatan tentang ingatan-ingatan, layaknya seseorang yang mengingat memorinya sebelum menulis. Ini cara saya mencatat perjalanan dari kanak-kanak sampai sekarang usia 88 tahun. Bagaimana sawah yang dahulu begitu luas sekarang tidak ada lagi yang seluas itu,” Srihadi menjelaskan.

Rikrik Kusmara menyebut pameran “SRIHADI SOEDARSONO – Man and Universe” adalah pendekatan baru Srihadi dalam mengekspresikan landscape, sebab menampilkan metafora dan simbol yang cukup kompleks. Proses artistik tersebut tak lepas dari kondisi sosial politik Indonesia yang tensinya naik sepanjang 2016 – 2019, tahun-tahun Srihadi menghasilkan karya untuk pameran ini.

SRIHADI SOEDARSONO
Bersama Srihadi Soedarsono (ke-2 dari kiri, baju hitam) dan ibu Farida Srihadi (duduk) di Studio Srihadi, Bandung, saat persiapan jelang pameran, 29 Januari 2020.

Srihadi Soedarsono, kelahiran Solo, 4 Desember 1931, sejak usia dini suka menggambar. Saat jadi pelajar, dia bergabung dalam Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) bagian Pertahanan pada 1945 dengan tugas membuat poster, grafiti, menulis slogan yang mengobarkan semangat juang di dinding-dinding besar dalam kota dan gerbong-gerbong kereta api.

Lalu masuk sebagai staf Penerangan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Penerangan Tentara Divisi IV TNI di Solo. Kegiatannya membuat brosur militer dan menggambar sketsa peristiwa penting untuk dokumentasi karena saat itu tidak ada kamera.

Pada 1946, dia bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) di Solo dan belajar dengan pelukis-pelukis perintis seni lukis Indonesia, seperti Sudjojono dan Affandi. Sewaktu bergabung dengan Kementerian Urusan Pemuda Republik Indonesia yang berlokasi di Sekolah Taman Siswa Yogyakarta, Srihadi juga berada di sana bersama Sudjojono untuk menegakkan perjuangan Indonesia melalui seni rupa.

Baca juga LINI TRANSISI, Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #2

Belanda ditarik dari Indonesia pada Desember 1949. Alih-alih meneruskan bekerja di ketentaraan, Srihadi memilih meneruskan sekolah yang sebelumnya pernah terhenti, dan menerima beasiswa. Dia bersekolah di SMAN 1 Margoyudan, tamat 1952.

Selepas SMA, Srihadi melanjutkan kuliah di Balai Pendidikan Universiter Guru Seni Rupa Fakultas Teknik UI yang untuk sementara berkedudukan di Fakultet Teknik Bandung (belum jadi ITB).

Dia tidak memilih kuliah di ASRI Yogyakarta karena sudah mengenal para tenaga pengajarnya saat dulu remaja aktif di sanggar di Yogya dan Solo. Di SIM, Srihadi mengalami Mazhab Yogya malah dari tangan pertama, Sudjojono dan Affandi. Alasan lain, dia ingin belajar hal baru di Bandung.

Ketertarikan Srihadi pada pendekatan landscape lebih jelas dideskripsikan antara tahun 1954-1959 ketika beberapa kali berkunjung ke Bali.

Kunjungan yang paling penting adalah pada 1954. Dia tinggal di pantai Sindhu, Sanur, Bali yang saat itu masih sepi, selain ada perahu-perahu, upacara, dan perempuan Bali di pantai. Masa tersebut adalah masa Srihadi memikirkan apa yang dia cari dari seni lukis.

Dari momen-momen kontemplasi di Bali inilah Srihadi memahami arah karya-karyanya. Dan saat mengamati pantai, Srihadi menemukan fenomena alam bahwa antara langit dan laut selalu ada garis penghubung yang lurus, bersih, dan indah. Garis horizon. Semacam titik nol yang siap untuk dikembangkan.

Srihadi Soedarsono pensiun sebagai pegawai negeri sipil pada 1997 dan terus berkreasi hingga hari ini. Kerjanya tetap disiplin. Tiap pukul 7 pagi sudah masuk studio di belakang rumahnya di Ciumbuleuit, Bandung, tempat dia membentangkan 6-7 kanvas dan melukis secara bersamaan. Pukul 9 baru keluar studio untuk sarapan.

Berolah raga tetap rutin dilakukan dengan mengundang instruktur khusus. Jangan heran, di usia 88 tahun ini Srihadi masih sanggup plank.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.