Rumah Pembuangan Bung Karno di Bengkulu

Terserang malaria saat pembuangannya di Ende (1934-1938), Den Haag memutuskan untuk memindahkan Sukarno keluar dari Flores. Bengkulu ditetapkan sebagai pengasingan lanjutan dengan pertimbangan lokasi yang terpencil, susah diakses, dan rakyat Bengkulu cenderung tak berpolitik.
Bersama istrinya Inggit Garnasih dan anak angkat mereka Ratna Djuami, Bung Karno berlayar dari Flores ke Pulau Jawa.
Baca juga Rumah Inggit Garnasih
Bung Karno tiba lebih dulu di Bengkulu pada 14 Februari 1938, sedangkan keluarganya menyusul beberapa minggu kemudian. Dia ditempatkan di Hotel Centrum (sekarang sudah tidak ada, posisinya di seberang Bank Indonesia Bengkulu) sambil menunggu renovasi rumah di Jalan Jeruk, daerah Anggut Atas yang bakal ditempati.

Rumah panggung kayu khas Bengkulu tersebut disewa Belanda dari pedagang keturunan Tionghoa, Tjang Tjeng Kwat, penyalur bahan pokok untuk keperluan pemerintah kolonial Belanda di Bengkulu. Tjeng Kwat yang membangunnya pada 1918.
Baca juga Dua Nelayan Pantai Bengkulu
Rumah ini terdiri dari dua bangunan, yakni bangunan utama dan bangunan penunjang. Bangunan utama berbentuk limas dengan gaya Eropa dan Tionghoa, terdiri dari ruang tamu, ruang kerja, dua kamar tidur keluarga, dan satu kamar tidur tamu. Sedangkan bangunan penunjang yang letaknya belakang bangunan utama difungsikan sebagai kamar pembantu, gudang, dapur, WC, dan kamar mandi.

Setelah Kemerdekaan, rumah ini difungsikan sebagai markas perjuangan PRI (Pemuda Republik Indonesia), rumah tinggal anggota AURI, stasiun RRI, serta kantor pengurus KNPI Dati I dan II.
Baca juga Rumah Kiagus Husin, Karya Bung Karno di Bengkulu
Di rumah pengasingan ini Bung Karno menerima banyak kunjungan tokoh Bengkulu, salah satunya Hassan Din, Ketua Dewan Pimpinan Muhammadiyah Bengkulu (1939-1952) yang berasal Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Mengetahui kedekatan Bung Karno dengan tokoh agama Ahmad Hassan serta organisasi Persatuan Islam (Persis) di Bandung, Hassan Din menawari Bung Karno mengajar di sekolah rendah agama milik Muhammadiyah di Bengkulu. Salah satu muridnya adalah puteri Hassan Din, Fatmah, yang berusia hanya setahun lebih muda dari Ratna Djuami.
Ketika Fatmah melanjutkan ke RK Vakschool (sekolah kerumahtanggaan) di Bengkulu dan mencari tempat tinggal, Sukarno menerimanya tinggal bersama di Anggut Atas. Masa inilah mulai muncul ketertarikan antara Sukarno dan Fatmah, yang membuat hubungan mereka dengan Inggit merenggang.
Baca juga Masjid Jamik Bengkulu
Singkat cerita, akhirnya Sukarno dan Fatmah menikah pada Juni 1943 setelah sebelumnya menceraikan Inggit yang menolak dimadu.

Objek wisata sejarah
Anggut Atas yang pada 1940-an berada di pinggir kota, sekarang adalah pusat Kota Bengkulu. Jalan Jeruk pun berganti nama menjadi Jalan Soekarno-Hatta. Rumah pengasingan yang didiami Sukarno-Inggit sejak tahun 1938 hingga 1942 itu saat ini adalah objek wisata sejarah dan pada 2004 ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Di sini disimpan ranjang besi di kamar Sukarno dan Inggit, meja rias, ratusan eksemplar buku berbahasa Belanda yang didominasi tema politik dan ekonomi, foto rumah dan masjid rancangan Bung Karno, serta foto-foto Sukarno dan keluarga yang dipasang di hampir seluruh ruangan.
Baca juga Hotel Bali Beach, Karunia Bung Karno untuk Sanur
Disimpan pula satu lemari berisi 120 potong pakaian pentas tonil Monte Carlo yang diasuh Bung Karno semasa di Bengkulu, sepeda onthel, satu set kursi tamu, lemari makan, dan surat cinta Sukarno untuk Fatmawati. Sumur timba juga masih ada di halaman belakang.

***