PEREMPUAN PENEBUS KARMA
It’s a fact. It’s not a fact of life, but it’s a fact of death. It makes a great change the way you look at your life once you accept reincarnation.
~Ajahn Brahm
Oleh Silvia Galikano
Perempuan ini hidup di kampung nelayan Jiaoxian (sekarang Kota Jiaozhou), Provinsi Shantung (Shandong), Tiongkok pada akhir abad ke-12.
Dialah saya. Bukan dari satu kelahiran sebelumnya, melainkan sudah beberapa.
Ya, saya sedang bahas reinkarnasi. Kelahiran kembali.
Kita hari ini bukan baru pertama kali ada di bumi. Masing-masing kita sudah ratusan, bahkan seribu sekian ratus kali dilahirkan sebagai manusia.
Bayi lahir BUKAN bagai kertas putih, melainkan sudah membawa bekal. Bekal itu berasal kondisi terakhir sebelum mati pada satu kehidupan sebelumnya.
Jika sebelum mati dia seorang yang dermawan, sehingga berlimpah-limpah tabungan karma baiknya, maka si bayi adalah orang yang makmur secara ekonomi. Sebaliknya, jika sebelum mati dia koruptor, tukang tilep duit orang lain, maka si bayi akan hidup susah tersaruk-saruk begitu nanti karma matang jatuh tempo.
Selain karma, pengalaman hidup yang demikian kuat di kehidupan sebelumnya bisa jadi akan dirasakan juga di kehidupan sekarang. Satu contoh adalah fobia (takut yang berlebihan).
Orang yang fobia terbang bisa jadi dahulu dia meninggal dalam kecelakaan pesawat. Orang yang klaustrofobia (fobia ruang sempit) mungkin saja di kehidupan sebelumnya dia salah satu Yahudi yang mati di kamar gas Nazi.

Nah, sekarang kembali tentang saya.
Mbak Suri, energy healer, bukan orang pertama yang saya tanyai tentang past life saya. Sebelumnya saya pernah menjalani past life regression dengan cara dihipnosis. Pernah juga melalui pembacaan kartu tarot. Pernah juga seseorang menyebut siapa saya di past life cuma dengan menatap mata saya.
Jawaban yang saya peroleh tak ada yang sama. Wajarlah, kan saya sudah ratusan kali lahir. Jadi ada yang menangkap saya pada, katakanlah, 500 kelahiran sebelumnya, ada yang menangkap saya pada 224 kelahiran sebelumnya, ada yang menangkap saya pada 30 kelahiran sebelumnya, dst.
Beda dengan yang lain, mbak Suri memberi jawaban komprehensif dan “kuat”, plus paket lengkap dengan gambar. Dari sini saya tahu dari mana asal mula setelan wajah murung saya, juga perasaan, “Hey, saya harus survive nih. Harus survive! Ngga bisa begini terus,” hal yang jadi pertanyaan besar saya selama ini.
Terima kasih sekali mbak Suri sudah menemukan saya di Jiaoxian.
Di kampung itu, “saya” (versi Jiaoxian) tinggal bersama orangtua yang hidup dari pemberian orang lain. Tidak meminta, hanya menerima. Tapi juga tidak bekerja. Mirip biksu yang hidup dari pemberian umat.
Kedua orangtua saya meyakini inilah cara yang harus ditempuh untuk menebus karma leluhur mereka. Entah karma apa.
Namun saya tidak terima dengan cara hidup demikian. Tradisi memalukan itu tidak perlu diteruskan. Saya memberontak. Saya (versi abad ke-21) asumsikan dengan bekerja.
Konsekuensi yang kerap saya terima adalah dipukuli orangtua, yang akhirnya meninggalkan bekas luka abadi di tubuh (luka di wajah saya tandai di foto detail).

Tradisi hidup dari pemberian orang lain terpaksa saya teruskan ketika menikah dan punya lima anak. Walau suami saya tidak menjalani tradisi seperti keluarga saya, tapi dia inferior, enggan bergerak, dan pasrah pada keadaan.
Alhasil saya menjalani rumah tangga dengan kemarahan dan frustrasi. Di tengah kecamuk itu saya membesarkan anak-anak. Saya jadi ibu yang galak, keras, sambil tak henti-hentinya menanamkan kepada anak-anak agar kelak tidak hidup seperti orangtua dan kakek-nenek mereka.
Hingga meninggal, di usia 70-an tahun, saya tetap tinggal di Jiaoxian dalam kondisi ekonomi tak berubah. Tetap susah.
Gambar yang diberikan mbak Suri adalah saya usia 30-an dengan rambut acak-acakan tak sempat mengurus diri serta mengenakan pakaian berbahan katun kasar dan murah. Akhirnya mbak Suri juga dapat menangkap senyum tipis saya dari yang biasanya murung. Begini ini sudah senyum 🙂
Saya (versi abad ke-21) kemudian menyelesaikan beban-beban saya versi Jiaoxian melalui meditasi. Saya maafkan orangtua saya. Saya minta maaf kepada lima anak saya yang terpaksa ikut menjalani hidup yang demikian tidak nyaman.
Kemudian saya visualkan melangkah keluar pintu tembok kota, lalu membalikkan badan ke arah kota, membungkuk sebentar tanda saya sudah menyelesaikan babak Jiaoxian, menutup pintu dari luar, dan berjalan menuju cahaya.
***
Keren saya juga jadi pengen mencari mengetahui my past of life, sering mimpi tapi samar kabur terputus seperti film slide hitam putih contact personya gimana ada WA nya, terima kasih sudah berbagi salam reinkarnasi sehat selalu.
+62 838-6788-4390.
????Itu ya, Pak
Thanks
Mbak, Ibu Suri ini yg pernah mba Silvia sebutkan dulu itu ya. Apa boleh telpon gitu aja utk tanya ttg past life, spt yang ditanyakan bapak yang komentar sebelum saya di atas? Kalo boleh jadi tertarik juga nih. Atau perlu ‘ngenger, belajar pd ibu Guru, satu dua sesi? Mohon pencerahan. ?
Mbak Suri bukan tempat saya berguru, Mas.
Beda orang.
Monggo di-WA mbak Surinya.