Pintu Candra Naya di Rumah Tionghoa Peranakan

furniture peranakan, perabot peranakan, peranakan tionghoa
Satu set meja altar dari kayu hitam. Hio lo (pendupaan) kayu jati segi empat motif naga dan burung hong bercat emas. (Foto: Silvia Galikano)

Akulturasi budaya selalu punya cerita menarik. Kali ini mebel yang bercerita.

Oleh Silvia Galikano

Menjelang Imlek, informasi tentang segala macam budaya Tionghoa banjir di media massa. Tentang klenteng, sembahyang, cheong sam, kue keranjang, manisan, barongsai, liong, silaturrahmi, makan bersama, kehidupan sekitar klenteng. Macam-macam ada. Semua meriah.

Namun jika Anda datang ke Bentara Budaya Jakarta (BBJ) dari 15 hingga 25 Januari 2009, makna lebih dalam dari sekadar meriah dan merah bisa dijumpai, yakni bentangan panjang sejarah keberadaan suku Tionghoa di Nusantara berikut akulturasi yang terjadi. Selama sepuluh hari itu, digelar Pameran Warisan Budaya Tionghoa Peranakan, kerja sama Komunitas Lintas-Budaya Indonesia dan Bentara Budaya Jakarta.

furniture peranakan, perabot peranakan, peranakan tionghoa
Satu set meja altar dari kayu hitam. Hio lo (pendupaan) kayu jati segi empat motif naga dan burung hong bercat emas. (Foto Silvia Galikano)

Ruang dalam BBJ disulap layaknya rumah Tionghoa peranakan di awal abad ke-20. Ruang tengah diibaratkan ruang tamu yang diapit kamar tidur di kiri dan kanannya. Ruang sebelah kiri dijadikan dapur, dan ruang sebelah kanan jadi perpustakaan dan ruang kerja. Tentu saja konsep ini demikian menarik, seperti berada di setting film kungfu.

Masuk pintu utama langsung tampak meja altar, lengkap dengan foto leluhur, lilin, dupa, dan sesaji. Di dinding terpasang cermin bertuliskan karakter Tionghoa yang berisi doa agar rumah senantiasa diberkahi. Di kiri kanan altar disusun sepasang kursi mengapit meja teh. Di tengah-tengah, pas tentangan altar, diletakkan meja bundar dari marmer berkaki kayu hitam (blackwood).

Yang menarik, di dua ujung dinding tempat menempelnya meja altar dipasang pintu yang dulunya terpasang di Candra Naya. Begitu juga pintu angin yang dipasang di samping pintu masuk utama adalah dulunya milik Candra Naya.

Baca juga Warisan Ternama di Pecinan Jakarta

furniture peranakan, perabot peranakan, peranakan tionghoa
Pintu dari Candra Naya. (Foto: Silvia Galikano)

Candra Naya adalah gedung berarsitektur Tionghoa, berada di Jalan Gajah Mada Jakarta Barat. Diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-18 oleh Khouw Tian Sek (kadang disebut Tang Sek) dan jadi bangunan gaya Tionghoa termegah dan termewah pada masa itu.

Khouw Tian Sek adalah pengusaha kaya. Dia memiliki sawah luas di Batavia dan Tangerang, sejumlah penggilingan padi di luar Batavia, beberapa rumah di sekitar Molenvliet West (sekarang Jalan Gajah Mada), dan jadi tuan tanah di Batavia selatan. Tian Sek kemudian diangkat Belanda jadi Kapiten Cina.

Saat ditemukan, pintu Candra Naya ini berwarna hitam. Setelah dibersihkan dan catnya dikerok, barulah tampak gambar-gambar di dinding pintu, antara lain gambar pot bunga, meja tulis, dan burung. Proses mengerok cat ini juga yang terpaksa menelan risiko adanya gambar yang ikut terkerok, hingga pudar warnanya.

Baca juga Kotatua Tak Ditinggalkan

Pintu ini memiliki bagian berjerjak di bagian atas, memungkinkan adanya pertukaran udara dan masuknya cahaya matahari. Sedangkan bagian bawah diukir dan digambar macam-macam perlambang.

furniture peranakan, perabot peranakan, peranakan tionghoa
Lemari cuiho, kombinasi sontek dan inlay di atas kayu burlwood (akar ambon) motif singa dan gajah. (Foto Silvia Galikano)

Pameran mebel serta aksesoris rumah tangga Tionghoa peranakan jadi titik berat acara ini, menampilkan perabotan yang digunakan pada masa tahun 1850 hingga 1960-an. Mebelnya menggunakan kayu asli Indonesia, seperti jati, trembalu, dan ambon akar, jenis yang banyak tersedia di Indonesia pada 50 hingga 150 tahun silam. Mebel tersebut dibuat di Indonesia, dikerjakan dan diukir oleh perajin kayu orang-orang Tionghoa.

Satu yang terkenal adalah lemari cuiho. Lemari cuiho punya lima jenis, yakni lemari cuiho pakaian, lemari cuiho obat, lemari cuiho parfum, lemari cuiho pajangan, dan lemari cuiho dapur. Cuiho sendiri sebenarnya adalah nama toko atau perusahaan pembuat lemari di Jawa Barat, di antaranya Goan Jiho dan Tian Jiho, yang ada di abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Perusahaan ini menerima pesanan pembuatan mebel kayu bergaya peranakan Tionghoa.

Baca juga Langgam Eklektik Hotel Trio Solo

Lemari cuiho dapur, misalnya. Bahannya kayu jati. Di sepasang pintunya terdapat motif burung dan bunga berwarna emas dengan cukilan datar. Di bagian atas pintu lemari ada ukiran motif bunga berbingkai bundar yang sekaligus berfungsi sebagai lubang angin.

furniture peranakan, perabot peranakan, peranakan tionghoa
Tempat tidur opium, bahan kayu laquer, motif tumbuhan labu botol dg desain meander keliling. (Foto: Silvia Galikano)

Ada pula mebel yang didatangkan dari Tiongkok yang umumnya dibuat dari bahan kayu hitam (blackwood/xuanzhi), pinus, atau kayu kuning. Kursi, meja, tempat tidur, bangku, dan rak dari kayu hitam umumnya dibuat di Guangdong pada awal abad ke-20 dan banyak mendapat pengaruh Eropa, Jawa, art nouveau, hingga art deco yang sedang melanda Eropa.

Contoh mebel yang didatangkan dari Tiongkok adalah tempat tidur opium yang terbuat dari kayu laquer. Ada dua tempat tidur opium yang dipamerkan. Satu di ruang tamu, satu lagi di perpustakaan.

Tempat tidur opium yang diletakkan di perpustakaan punya keistimewaan, yakni tepian/sandarannya berdesain ukir terawang motif labu botol dengan meander keliling. Musa Jonatan, kurator pameran, memberi informasi bahwa tempat tidur opium ini dulunya milik Oei Tiong Ham (1866 – 1924), sang raja gula dari Semarang.

furniture peranakan, perabot peranakan, peranakan tionghoa
Tempat tidur opium dari kayu hitam kombinasi marmer dan kulit kerang. (Foto: Silvia Galikano)

Baca juga Istana Bale Kambang, Lakon Tragis Raja Gula

Tempat tidur opium yang diletakkan di ruang tamu lain lagi keistimewaannya, yakni pada ornamen kulit kerang dan marmer bergambar. Ornamen kulit kerang menggunakan kulit kerang yang dihancurkan lantas ditempel membentuk suatu tema.

Sedangkan marmer polos ada di dudukannya dan marmer bergambar singa dan floral ada di sandarannya. Metode penempelan kulit kerang ini banyak ditemukan di daerah Jawa, Sumatera,  serta Malaysia dan sekitarnya.

Ranjang pengantin tak kurang menarik perhatian. Merah, sarat ukiran berwarna emas, serta kelambu warna hijau muda bermotif floral. Seluruh ukiran punya makna filosofis.

furniture peranakan, perabot peranakan, peranakan tionghoa
Ranjang Pengantin dari Penang dengan ukiran Cerita 24 Anak Berbakti. (Foto: Silvia Galikano)

Seperti motif ayam melambangkan harapan agar pengantin diberi rezeki, pot dan buah persik adalah lambang panjang umur dan banyak anak. Di tiang tempat tidur ada ukiran Cerita 24 Anak Berbakti yang sudah ada sejak Dinasti Shang pada tahun 16 SM, sebagai doa agar nanti anak-anak mereka berbakti pada orangtua.

Baca juga Hotel Sidji dan Anggunnya Rumah Letnan Tionghoa

Berapa usia ranjang pengantin ini? Bahkan pemiliknya pun tak tahu. Satu yang dia tahu, ranjang ini didatangkan dari Penang Malaysia. Dia peroleh turun temurun. “Kakek buyut saya datang dari Tiongkok ke Pariaman tahun 1870. Kapan belinya, saya tidak tahu.” Satu pesannya juga, dia tidak mau namanya dituliskan di sini. Aduh, kolektor benda antik.

***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 18 Januari 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.