Lear Asia, Kesepian Paling Mengerikan

lear asia, kesepian paling mengerikanDuduk di kekuasaan melalui intrik busuk membuat Sang Putri merasa dikejar-kejar.  Sekutunya tak lain pengkhianat ulung.

Oleh Silvia Galikano

Foto-foto: Ari Saputra

Empat pengawal mengelilingi Panglima dengan tombak terhunus. Tanpa dapat melawan, Panglima roboh. Mati seketika. Tak ada lagi yang dikhawatirkan Putri Sulung, karena dia sekarang sang penguasa tunggal kerajaan.

Panglima adalah orang terakhir yang dia bunuh. Sebelumnya, Putri Bungsu, adiknya; dan ayahnya, Sang Raja Tua jadi korban intrik Putri Sulung bersama Panglima.

Beda dengan Putri Bungsu yang lebih banyak diam, Putri Sulung yang pandai bermanis bibir ini mampu merebut hati Raja Tua dengan kata-kata penuh sanjung-puji. Dia berhasil membujuk ayahnya untuk sejenak meninggalkan istana dan melihat kondisi nyata rakyat.

Selama ini Raja tak percaya laporan Badut bahwa rakyat kelaparan, bahkan bayi pun kelaparan karena air susu ibunya kering. Raja selalu dicekoki laporan Putri Sulung bahwa kerajaan baik-baik saja.

“Ayah, tidak ada yang kelaparan di negerimu. Ayah perlu sedikit berlibur, ditemani badut dan Pelayan setiamu. Kembalilah sesuka hati Ayah. Singgasana ini akan selalu menunggu,” bujuk Sulung. Raja Tua terbujuk. Dia meninggalkan istana ditemani Badut dan Pelayan.

Tak menyia-nyiakan kesempatan, Putri Sulung segera menduduki singgasana, mengusir Bungsu, mengusir ibunya, dan mengajak Panglima bersekutu dengannya. Ketika ayahnya kembali ke istana, Sulung tak mau menyerahkan singgasana. Dia malah menempatkan Raja di kandang kuda.

Sementara itu Panglima terus menghasut Putri Sulung untuk membunuh Raja Tua agar Sulung bisa sah berkuasa. Benarkah itu maksud Panglima? Ternyata tidak. Justru dia sendirilah yang mengincar singgasana kerajaan sebegitu kekuasaan kosong. Panglima bersekutu dengan Putri Sulung hanyalah tampilan luar. Sejatinya, keduanya saling intai untuk menunggu waktu yang tepat untuk dijatuhkan.

“Jadikan muslihat sebagai senjata, pun belajarlah kau menjilat. Akan kubuat perempuan itu membunuh Raja. Baru aku menduduki tahta sebagai raja yang mengerti derita lapar,” kata Panglima.

Maka Pelayan yang setia pada Raja itu dibutakan matanya. Putri Bungsu dibunuh. Raja murka tapi tak berdaya. Dia hanya bisa berseru pada alam agar menurunkan bencana pada kerajaan. Seketika kilat sambar menyambar, Raja berputar-putar seperti hilang akal. Dia mati akibat menanggung sedih mahaberat.

Tragedi demi tragedi ini berakhir dengan berhasilnya Putri Sulung menduduki tahta. Namun berkuasa di atas korban nyawa keluarga sendiri membuatnya selalu ketakutan. Dia kerap panik, “Siapa di belakangku? Siapa di belakangku? Siapa di belakangku? Siapa di balik diriku?”

Pementasan Lear Asia yang dibawakan Studiklub Teater Bandung di Teater Salihara Jakarta, Jumat 15 Juni 2012 merupakan adaptasi dari karya Rio Kishida. Kishida adalah penulis skenario sekaligus sutradara teater asal Jepang.

Sutradara I.G.N. Arya Sanjaya mengemasnya dalam suasana, kostum, musik, gerak, dan senandung Bali. Lear Asia yang awalnya bernuansa Jepang, dibawa Arya ke kerajaan Bali masa silam yang sedang di ambang kehancuran.

Lantas apa hubungannya dengan King Lear? Kishida mengambil alur utama drama karya William Shakespeare itu dengan penyederhanaan di sana-sini.

“Naskah ini sangat terbuka. Tidak ada idiom tertentu, ceritanya sangat mendasar, bisa terjadi di mana saja. Saya ingin mengembangkan teks yang aslinya sangat puitis ini ke ranah visual dengan gaya Bali,” ujar Arya.

Salah satu bukti bahwa naskah ini sangat terbuka adalah tokoh-tokoh dibiarkan anonim, sehingga bisa diterapkan di budaya mana saja, termasuk Bali. Untuk pementasan ini, Arya mengambil model dari berbagai tokoh dalam sendratari Bali.

Raja, misalnya, mengacu kepada karakter raja dalam tari Jauk, sementara Putri Sulung dan Putri Bungsu mengacu ke penari-penari Legong Keraton. Pelayan adalah karakter kesatria dalam tari Baris, sedangkan Badut diilhami tokoh badut bernama Kartala dalam drama tari Arja.

Lear Asia bukan hanya mempertontonkan perebutan kekuasaan, tapi juga hubungan antarmanusia, dan betapa mengerikannya kesepian yang tak terobati.

***
Dimuat di Majalah Detik 30, 25 Juni – 1 Juli 2012

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.