OLVEH dan Jeniusnya Schoemaker

 

Tulisan ke-lima setelah Dari Data, Bicara Sejarah dalam rangkaian tulisan Kota Tua Jelang Diakui Dunia.

Oleh Silvia Galikano

Cat putih, gaya bangunan neoklasik, dan dua menaranya yang gagah membuat Gedung OLVEH menonjol dari kejauhan.

Semakin menarik ketika didekati, terdapat susunan batu membentuk tulisan “OLVEH van 1879” di lantai teras. Dan untuk masuk, kita harus menuruni beberapa anak tangga karena lantai dasar gedung ini lebih rendah 92 sentimeter dari permukaan jalan.

Bukan karena sengaja dibangun di bawah permukaan jalan, melainkan proyek peninggian jalan yang berlapis-lapis tanpa ampun dari tahun ke tahun telah menenggelamkan gedung-gedung di kiri-kanan jalan.

Gedung OLVEH Jakarta, OLVEH Batavia
Gedung OLVEH pada masa penjajahan Belanda. (Dok. JOTRC)

Gedung milik asuransi Jiwasraya di Jalan Jembatan Batu no 50, Pinangsia Jakarta Barat ini sudah bertahun-tahun ditinggalkan merana. Cat dindingnya kusam, terkelupas, bahkan ditumbuhi lumut. Tanaman tumbuh liar di sela-sela tembok.

Atap dan kubah menara bocor. Dinding sisi timur terkena limpahan air hujan bangunan di sebelahnya yang berjarak sekitar 10 cm.

Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC) kemudian mengkonservasi gedung tersebut sejak akhir 2014. Peresmian rampungnya konservasi diadakan pada 17 Maret 2016 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Bangunan ini punya sejarah menarik. Didesain arsitek Schoemaker dan dibangun  F. Loth untuk kantor Onderlinge Levensverzekering Maatschappij Eigen Hulp (OLVEH), perusahaan asuransi jiwa yang didirikan pada 1879, berpusat di Den Haag, Belanda.

Upacara peletakan batu pertamanya diadakan pada 1921 atas permintaan putri direktur, Peereboom Voller.

Gedung OLVEH yang diresmikan dan dibuka untuk umum pada 7 Januari 1922 adalah gedung tiga lantai dengan dua menara. Lantai pertama dan kedua disewakan untuk tenant, sedangkan kantor OLVEH menempati lantai tiga.

Sebuah tangga marmer didesain dengan keamanan yang baik sebagai penghubung antarlantai. Toilet dan kamar mandi dibedakan dengan jelas dan didesain menggunakan exhaust.

Boy Bhirawa, arsitek yang mengkonservasi Gedung OLVEH, menjelaskan, pada awalnya, tim konservasi belum mengetahui nama arsitek yang mendesain gedung OLVEH.

Ketika Boy melihat ke dalam gedung, termasuk lantai atas, dan memperhatikan detailnya, sampailah dia pada kesimpulan yang membuat gedung ini bukanlah arsitek biasa.

Sang arsitek membagi ruangan dengan sistem yang jelas sekali: tiga melintang dan tiga membujur serta kolom hanya ada di tengah ruangan dan tak ada di samping.

Selain itu, dari kolom yang dindingnya rontok hingga tampak tulangnya, diketahui bangunan ini berasal dari zaman peralihan sebelum dinding struktur beton bertulang menjadi umum.

Terdapat langit-langit kaca (skylight) di lantai tiga yang memberi cahaya cantik dan berbeda-beda di ruangan dari pagi hingga petang. Teknologinya pun luar biasa, memberi dudukan besi yang membuat air hujan tidak masuk ke ruangan. Pada masa itu, skylight adalah sesuatu yang baru.

“(Lantai tiga) ini crème de la crème bangunan. Cahaya dari atas membuat ruangan punya cahaya sendiri yang berubah-ubah dari pagi sampai sore,” kata Boy usai diskusi Tourism Development Plan di Gedung OLVEH, akhir Maret 2016.

“Tanpa melihat jam, kita bisa tahu sekarang pukul berapa. Bahkan kalau lebih peka lagi, bisa tahu bulan apa, hanya dari sudut jatuhnya cahaya matahari.”

Skylight dianggap sebagai konsep tinggi seperti memasukkan waktu ke dalam ruang. Arsitektur ini dianggap abadi, mati waktu, terbekukan melalui cahaya yang berubah terus sejak terbit hingga terbenamnya matahari.

Dua wajah

Perhatian Boy pun tertambat pada keberadaan dua balkon yang menghadap depan dan menghadap belakang. Artinya gedung ini menghadapkan wajah ke depan dan ke belakang. Wajar jika menghadapkan wajah ke depan karena di sanalah pusat bisnis Batavia. Tapi ke belakang?

Di belakang gedung ini adalah kawasan Pecinan. Di sana ada klenteng dan rumah abu selain perkampungan penduduk Tionghoa. Inilah cara sang arsitek menghormati penduduk dan budayanya. Dengan memberi balkon ke arah Pecinan, dia memberi satu bagian wajahnya ke belakang untuk komunitas, bukan memantati.

Sebagai kantor bisnis keuangan, wajar jika bangunan ini punya menara dan pilar-pilar. Dua menara membuat gedung ini mudah dikenali sebagai kantor selain tampak bergengsi. Pilar-pilarnya jadi simbol kekuatan, ketahanan, matang, dan mapan.

“Itu sebabnya kantor jasa keuangan, seperti bank dan asuransi, mengambil bangunan klasik. Tujuannya untuk mengesankan bisnis mereka sudah berjalan lama agar masyarakat merasa aman menitipkan uang di sana,” ujar Boy.

Schoemaker bersaudara

Pencarian arsitek yang mendesain gedung ini pun dilakukan. Pusat Dokumentasi Arsitektur tak menyimpan data tentang gedung OLVEH. Lantas ditemukan guntingan surat kabar Hindia Belanda Bataviaasch Nieuwsblad  yang terbit pada 31 Desember 1921.

Gedung OLVEH Jakarta, OLVEH Batavia
Lantai dasar Gedung Olveh 92 cm di bawah permukaan jalan dan tulisan “OLVEH van 1879” di teras. (Dok. JOTRC)

Di sana tertulis arsitek Gedung OLVEH yang berada di Voorrij Zuid (nama jalan Jembatan Batu waktu itu) adalah Profesor Schoenmaker (kemungkinan maksudnya Schoemaker, tanpa “n”).

Lantas timbul pertanyaan, Schoemaker yang mana? Karena kakak-adik Schoemaker, Wolff (1882-1949) dan Richard (1886-1942), sama-sama arsitek dan sama-sama guru besar di Technische Hogeschool (sekarang ITB).

Karena Richard sudah ditabalkan sebagai guru besar pada 1920, sedangkan Wolff baru dua tahun kemudian, maka artikel itu dipastikan mengacu pada Richard Schoemaker. Namun dari gaya bangunan, tim konservasi cenderung meyakini bahwa ini karya Wolff Schoemaker.

“Kubah dua menaranya persis kubah Gereja Bethel di Bandung, karya Wolff Schoemaker. Menaranya pun didesain bersusun  mirip teknik perspektif bangunan candi,” kata Boy.

Ditambah lagi, ada faktor kemanusiaan yang menguatkan bahwa Wolff-lah perancang utama gedung OLVEH. Hidup Wolff dibagi tiga periode, yakni lahir di Banyubiru, Indonesia; bersekolah di Delft, Belanda.

Masa Wolff bersekolah adalah masa puncak para arsitek muda punya statement, seperti de stijl, amsterdam syle, dan semuanya kuat. Sebuah pemberontakan terhadap gaya lama.

Semangat itu dia bawa saat kembali ke Batavia. Pada periode pertama Wolff berkarya, desainnya masih modernis, belum tropis, tak ada teritis sehingga saat hujan akan tampias ke dalam.

Wolff Schoemaker
Wolff Schoemaker. (Wikipedia)

“Seorang arsitek senior Belanda saat itu menasihati, jika Wolff hendak membuat karya arsitektur di Hindia Belanda seharusnya mempertimbangkan iklim tropis Nusantara dengan menerapkan gaya arsitektur Indische. Dan dia berusaha memahami,” ujar Boy.

Pada saat yang sama, Wolff suka candi. Posisi candi berstruktur telanjang, tak ada “genit-genitnya” karena memang bukan tempat tinggal

Bentuk candi ini dia ikuti. Menara gedung OLVEH yang berundak adalah menyalin bentuk candi, dan ekspresi itu masih belum tropis untuk ditinggali.

“Karena itu kami punya masalah dalam hal ini. Kalau hujan, di sini tampias, juga tampias ke jendela kayu,” kata Boy.

Pada periode ke-dua, dia mulai mengatasi masalah tropis.  Dan pada periode ke-tiga, rancangan Wolff Schoemaker sudah sangat Nusantara.

Wolff adalah ilmuwan yang menguasai ilmu teknik, budaya, dan seni rupa. Dia pun bekerja di Departemen van Burgerlijke Openbare Werken (BOW, Dinas Pekerjaan Umum). Maka wajar jika tahu lebih dulu jika di sini akan jadi pusat bisnis.

Sebagai catatan, Gedung OLVEH dibangun saat kawasan plaza (Stationsplein) belum terbentuk. Stasiun BEOS, Nederlandsche Handel Maatschappij (kini Museum Bank Mandiri), dan Nederlandsch-Indische Handelsbank (kini Bank Mandiri) belum berdiri.

Dari sisi komplikasi personal, Wolff lebih komplit, dia mengalami pindah agama. Dikabarkan, Wolff menjadi muslim pada awal 1930-an, walau pada akhirnya dimakamkan secara Nasrani di ereveld Pandu, Bandung.

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Villa_Isola_aan_de_Lembangweg_bij_Bandoeng_TMnr_60026637
Villa Isola di Bandung yang juga dirancang Wolff Schoemaker. Mulai dibangun pada Oktober 1932, diresmikan Maret 1933. (Dok. Tropenmuseum)

“Masalahnya bukan agama apa, tapi dia mencari kebenaran. Prosesnya mempelajari candi adalah juga proses mencari kebenaran. Proses itu menjadi penting buat saya, karena kalau kita bicara arsitektur saja, maka terbatas fisik. Sedangkan ini tatarannya bukan hanya profesional, tapi juga wisdom,” kata Boy menguraikan.

Wolff dianggap memenuhi proses, yakni sebagai arsitek, pengajar, militer (keduanya militer), bekerja di BOW, hingga akhirnya independen bekerja di perusahaan sendiri. Dua bersaudara Richard L.A. Schoemaker dan C.P. Wolff Schoemaker mendirikan C.P. Schoemaker en Associatie-Architecten & Ingenieurs yang bertempat di Bandung.

Meski demikian, lanjut Boy, tak terlalu penting siapa yang merancang karena keduanya berada di satu perusahaan, sehingga tugas merancang bisa dikerjakan bergantian.

“Kalau toh ini dilepaskan ke adiknya, pengaruh Wolff banyak sekali karena pengetahuan dia sudah beyond, sudah religion.”

Bersambung ke Alasan di Balik Bata Telanjang Gedung OLVEH

***
Dimuat di CNNIndonesia.com, 3 April 2016

8 Replies to “OLVEH dan Jeniusnya Schoemaker”

  1. Ibu Silvia, Mengenai Prof. Dr. Wolff Schoenmaker 3/4 tahun lahlu buku di pubikasi untuk banguan Dr.Wolff Schoenmaker di Indonesia dari Dr. Jan van Dullemen. Saya kirim 2 website untuk R.Schoenmaker dan W. Schoenmaker ini dengan bahasa Belanda.

    https://icmonline.ning.com/profiles/blogs/architectuur-in-indonesie-ii
    http://www.overuit.nl/museum/de-koloniale-architectuur-van-charles-richard-schoenmaker/detail.aspx?id=1527160

    Salam/ Kindly Regards, Peter Manuhutu
    @:pmansou@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.