Trowulan, Bukan Cerita Singkat

kecil 100_2891
Puncak Gapura Wringinlawang. (Foto: Silvia Galikano)

Kisah besar Majapahit dalam beberapa tahun ke depan dapat dinikmati khalayak melalui lorong waktu. Langkah pertama sudah ditapakkan untuk mewujudkannya.

Oleh Silvia Galikano

Senin pekan lalu (3/11), seremoni peletakan batu pertama pembangunan Pusat Informasi Majapahit dilaksanakan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, di situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Untuk tahap awal, akan dibangun Taman Majapahit yang merupakan bagian dari Pusat Informasi Majapahit, sebuah proyek besar yang memakan dana Rp25 miliar untuk mengapresiasi sejarah agung bangsa ini.

Pusat Informasi Majapahit nantinya akan jadi pusat terpadu informasi, dokumentasi, dan konservasi tinggalan-tinggalan masa Majapahit. Menjadi kumpulan seluruh hasil penelitian dari masa lalu hingga masa kini yang dapat diakses masyarakat.

“Trowulan itu dari kata terang bulan. Saya inginkan nanti setiap bulan purnama diadakan pertunjukan di sini, pertunjukan apa saja. Karena dulu, di zaman Majapahit, setiap bulan purnama diadakan pertunjukan. Kita hidupkan lagi Trowulan seperti masa jayanya dulu,” kata Jero Wacik.

Taman Majapahit nantinya bukanlah bangunan yang mencakar langit, sebaliknya, mencakar bumi dengan lorong-lorong yang memuat informasi peta persebaran situs-situs berikut jarak antarsitus. Trowulan bukan satu-satunya situs peninggalan Majapahit, melainkan juga tersebar di tempat-tempat lain di Jawa Timur.

Penggalian demi penggalian di Trowulan membuktikan bahwa kerajaan Majapahit benar-benar pernah ada seperti ditulis Mpu Prapanca di Kitab Negarakrtagama, dan bukan kerajaan fiktif sebagaimana anggapan pesimistis yang juga bertiup.

Temuan terakhir adalah pada akhir Oktober 2008, di Desa Wates Umpak Kecamatan Trowulan. Di antara petak-petak kebun tebu ini ditemukan kaki candi dari batu bata berukir, diperkirakan dari zaman Hindu di abad ke-13. Di sampingnya ditemukan juga sumur kuno.

 

kecil 100_2928
Trowulan berdiri di atas reruntuhan kerajaan Majapahit. Tak heran jika di antara petak-petak kebun ditemukan kaki candi atau juga sumur kuno. (Foto: Silvia Galikano)

 

Trowulan adalah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, sekitar 60 kilometer sebelah barat daya Surabaya, dengan waktu tempuh 1 jam menggunakan kendaraan bermotor. Di Trowulan inilah letak ibukota Majapahit, kerajaan yang berdiri di abad ke-13 hingga ke-15 Masehi dan mencapai puncak kejayaan sekitar 750 tahun lalu.

Kerajaan yang wilayahnya mencakup Asia Tenggara ini mencapai zaman keemasan melalui harmonisasi, toleransi, dan keberagaman budaya. Terjadi interaksi sosial, politik, dan agama yang sangat baik dan intensif antara Majapahit dan negara-negara lain, terbukti ditemukannya artefak-artefak dari Tiongkok, Thailand, Vietnam, hingga Persia.

Perselisihan di kalangan keluarga raja dan perebutan tahta menyebabkan Majapahit lemah dan akhirnya sirna ketika tak dapat membendung serangan Kerajaan Demak. Di atas reruntuhannyalah kini hidup masyarakat desa dengan beragam aktivitas.

Diperkirakan, pusat kota Majapahit berukuran 4 x 5 kilometer yang berada di Dusun Kedaton, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Di situs Kedaton ini terdapat runtuhan bangunan bernama Candi Kedaton, berbentuk empat persegi panjang yang tingginya tinggal 1,58 meter dengan permukaan rata, sehingga mirip altar.

Beberapa langkah dari Candi Kedaton terdapat sumur kuno yang sampai sekarang masih berfungsi. Airnya dipercaya dapat menyebabkan awet muda.

Di situs Kedaton juga terdapat Kompleks Sumur Upas yang strukturnya tumpang tindih. Setiap lapisnya mewakili zaman yang berbeda. Ada lapisan yang mewakili zaman Hindu, ada lapisan yang mewakili zaman Buddha.

Di tengah Kompleks Sumur Upas ini terdapat sumur kuno yang dulu merupakan jalan rahasia bagi raja mengamankan diri dari serangan musuh. Untuk menjaga kerahasiaannya, diberilah nama sumur upas (sumur beracun) agar tidak diotak-atik masyarakat.

Sekarang, sumur itu diberi penutup, dan di atas penutup itu ditabur bunga-bunga dan tertancap beberapa batang hio. “Setiap malam Jumat banyak yang datang ke sini dengan tujuan macam-macam,” kata M. Ikhwan, arkeolog yang memandu kami, ketika mengunjungi Trowulan, pekan lalu.

Seratus meter dari Situs Kedaton terdapat umpak-umpak batu yang berjumlah 20 buah yang disusun berjajar dua baris arah timur-barat. Umpak adalah dasar tempat berdirinya tiang kayu penyangga atap. Diperkirakan, di sini tempat melakukan persiapan untuk upacara yang dilangsungkan di Candi Kedaton.

Area yang lebih luas dari pusat kota adalah Kota Majapahit, yang menurut penelitian arkeolog Nurhadi Rangkuti berukuran 9 x 11 kilometer. Batasnya adalah garis yang menghubungkan Tugu Klinterejo di sudut timur laut, Tugu Badas di barat laut, Tugu Japanan di barat daya, dan Tugu Lebak Jabung di tenggara.

Di area bekas kota Majapahit inilah ditemukan 32 kanal, ribuan tembikar, keramik, senjata, serta candi-candi Hindu dan Buddha yang merupakan candi pemujaan.

Juga menarik diperhatikan adalah tata permukiman Kota Majapahit yang juga dijumpai di permukiman tradisional Bali masa lalu. Keduanya mencerminkan cara hidup bangsa agraris Nusantara.

Seperti situs permukiman yang ada di selatan halaman Museum Trowulan. Rumah-rumah rakyat jelata ini lantainya tidak ditutup bata, hanya perkerasan tanah bercampur pecahan tembikar dan bata, ukuran ruangan sempit, bangunan terbuka tanpa dinding atau dinding dari bahan yang mudah lapuk seperti anyaman bambu, beratap genting, dan terdapat jambangan air serta saluran air.

Bukankah rumah tipe begini masih banyak dijumpai di desa-desa? Warisan Majapahit rupanya. Masih panjang cerita tentang masa lalu dan tak bisa dirangkum dalam satu tulisan sederhana ini. Pekan depan untuk bagian lainnya. 

kecil 100_2856
Bersama mas Mahendra – Dikbud.

***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 9 November 2008

 

One Reply to “Trowulan, Bukan Cerita Singkat”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.