Mama di SD Fransiskus Padangpanjang

 

wirda mahmud, SPGN Bukittinggi
Mama dan Wirda Mahmud. (Dokpri Silvia Galikano)

Mama (kiri) dan Wirda Mahmud menjelang ujian masuk SPG Setiabudi, 1969/1970.
Mama sudah kuliah tahun ke-2 di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Padang, saat negara kacau usai peristiwa G30S yang membuat perkuliahan juga terbengkalai.

Karena untuk mengajar di SD Fransiskus harus punya ijazah SPG, mama mengikuti ujian masuk Sekolah Pendidikan Guru (SPG, setingkat SMA) Satya Budi, Bukittinggi yang merupakan milik susteran Fransiskus dan belajar ilmu keguruan selama setahun. Masa belajar normal SPG adalah tiga tahun.

Baca juga Indonesia Meniti Garis

Selama setahun itu mama tinggal di Kompleks Kehutanan di daerah Landbouw, Bukittinggi, bersama kakaknya, Chaidir. Saat itulah mama mengenal Wirda Mahmud yang tinggal di Kompleks Pertanian, bertetangga dengan Kompleks Kehutanan.

Wirda adalah siswi SPG Negeri Bukittinggi. Dia putri Haji Mahmud Yunus/ Mahmoed Joenoes (1899-1982), ahli tafsir Quran asal Sumatera Barat http://id.wikipedia.org/wiki/Mahmoed_Joenoes.

***

 

sd fransiskus padangpanjang, gereja katolik padangpanjang, yayasan prayoga
Siswa Kelas 6 SD Fransiskus tahun 1972 dan mama sebagai wali kelas. (Dok. Silvia Galikano)

Mama dulu guru kelas 6 SD Fransiskus Padangpanjang, Sumatera Barat sebelum akhirnya menikah dengan prajurit TNI-AL dan diboyong ke Suroboyo.

“Mama masih ingat nama-namanya?” saya bertanya sambil menunjuk monitor laptop. “Masih,” jawab mama mantap.

Baca juga Hentikan Tragedi Nol Buku

Berikut nama-nama mereka dan sedikit latar belakangnya, beberapa saja yang luput dari ingatan:

1.Po (Poniman)
2. Ciu
3. Riyanto (dipanggil “Yanto”, anak tentara)
4. Yusni
5. Donald
6. Heri
7. Chau Lie
8. Pak Guru Ho ( Sulaiman).
9. Syafril (dipanggil “Cap”).
10. Paino.
11. Mama.
12. Aminuddin (dipanggil “Min”).
13. Ariyadi.
14. Liu

***

sd fransiskus padangpanjang, gereja katolik padangpanjang, yayasan prayoga
Serah terima jabatan kepala SD Fransiskus Padangpanjang dari Pastor Morini (tengah berbaju adat) ke Pastor Mario (ke-2 dari kiri foto), 1972. (Dok. Silvia Galikano)

Serah terima jabatan kepala SD Fransiskus Padangpanjang dari Pastor Morini (tengah berbaju adat) ke Pastor Mario (ke-2 dari kiri foto), 1972. Mama ke-3 dari kiri.

Baca juga Pernah Azan Berkumandang Sayup di Musajik Usang

Pastor Morini, asal Italia, sangat disiplin, suka mendengar lagu klasik yang diputar di ruangannya di pastoran. As, kawan mama sesama guru, yang tak dapat menikmati lagu klasik, menyebutnya “lagu bagalau” (lagu kusut).

Pastor Mario, dari Jerman, lebih luwes dan suka sekali bikin acara makan-makan.

***

sd fransiskus padangpanjang, gereja katolik padangpanjang, yayasan prayoga
Acara perpisahan mama di SD Fransiskus, Padangpanjang, 1973. (Dok. Silvia Galikano)

Acara perpisahan mama (ke-3 dari kiri) di SD Fransiskus Padangpanjang, 1973.

Ada cerita mama tentang Pak Mansah, penjaga sekolah di sini (mungkin nama lengkapnya Rahmansyah).

Pak Mansah, asal Sawahlunto, dulunya kepala sekolah di sebuah SD negeri, tapi karena terlibat PRRI tahun 1957 sampai 1960, dia dipecat dan hidup terlunta-lunta.

Baca juga Masakan Minang Tak Selalu Berat

Pastor Mario (ke-3 dari kanan) menolong Pak Mansah, kemudian menerimanya bekerja sebagai penjaga sekolah di SD Fransiskus Padangpanjang.

Ketika anak ke-3 Pak Mansah lahir, putranya diberi nama Mario. Wajahnya bulat, putih.
Itu sebabnya tiap kali melihat Mario Teguh di televisi, mama sering bertanya, “Mario iko urang awak?”

***

Slamet Santoso, Iman Subagio,sd fransiskus padangpanjang, gereja katolik padangpanjang, yayasan prayoga
Slamet Santoso dan Iman Subagio, 1972. (Dok. Silvia Galikano)

“Kenang-kenangan dari Slamet Santoso dan Iman Subagio”

Foto ini diberikan kakak beradik murid mama, Slamet Santoso dan Iman Subagio yang punya panggilan De’ Yong dan De’ Yam pada 1972 saat berpamitan ke mama.

Baca juga Emi Rose Sang Pembaca Ampas Kopi

Keduanya hendak mengikuti ayah mereka pindah dari Padangpanjang ke Surabaya.

Sang ayah, Dokter Tan, disukai masyarakat Padangpanjang, salah satunya karena tidak memberatkan pasien dari segi biaya. “Tapi kalau ka Cino dibangkuangnyo,” kata mama.

Bersambung ke Napak Tilas ke SD Fransiskus Padangpanjang

***

5 Replies to “Mama di SD Fransiskus Padangpanjang”

  1. Salam kenal bu, terima kasih jadi tahu sejarah sekolah ini..saya pernah mengajar d sana dari tahun 2014 – 2019…dan tinggal di padang panjang…tulisan ibu jadi referensi saya untuk sedikit menulis sejarah Gereja Katolik Padang Panjang….semoga nantinya ibu bis amembantu….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.