Merawat Marwah Rumah Tjoa

Rumah Tjoa, Hotel Antika, Rembang
Bangunan utama rumah Tjoa yang sekarang menjadi ruang makan hotel Antika, dilihat dari area parkir. (Foto: Silvia Galikano)

Oleh Silvia Galikano

Di Pecinan Rembang, kawasan yang masih menyimpan banyak bangunan berlanggam Tionghoa, satu rumah bersejarah dialihfungsikan sebagai hotel. Namanya Hotel Antika, berada di Jalan Erlangga (dahulu Jalan Gambiran) nomor 17.

Pemilik Hotel Antika adalah Bambang Kristianto, 46 tahun dan istrinya, Melani Harsono, 46. Keduanya juga pemilik restoran Terras Kota di seberang hotel.

Baca juga Kapitan Tionghoa dan Cerita Seruas Jalan

Sejarah bangunan ini tak banyak diketahui. Nyaris tak ada sumber tertulis. Narasumber tersepuh adalah generasi ke-3, itu pun bukan keturunan langsung, melainkan dari garis menantu. Dari informasi yang serbasedikit itu kira-kira dapat dirangkum sebagai berikut.

Sebelum menjadi hotel, bangunan ini adalah rumah tinggal yang awalnya dimiliki dua orang bersepupu keluarga Tjoa, yakni Tjoa Tiong Ik dan Tjoa Giok Dho. Diperkirakan mereka menerima rumah ini sebagai harta waris, namun belum diketahui dari siapa.

Rumah bergaya Tionghoa tersebut dibangun kira-kira pada 1800-an. Terdiri dari bangunan utama, bangunan sayap di kiri dan kanan, serta bangunan belakang. Atapnya bergaya ekor walet yang menandakan pemiliknya adalah opsir Tionghoa, kaya, dan berpengaruh.

Tjoa Giok Dho menjabat Letnan Tionghoa (Lieutenant der Chinezen) Rembang pada 1919 – 1928, yang kemudian diganti sepupunya, Tjoa Tiong Lie (1928 – 1934).

Baca juga Rumah Dua Langgam di Lereng Sindoro-Sumbing

Saat itu yang menjabat Kapitan Rembang adalah Liem Yoe Kiong (1877 – 1924) dilanjutkan puteranya, Liem Ie Hwie (1924 – 1931). Kapitan Liem berumah di Gambiran juga, deret seberang rumah Tjoa, belakangan sempat digunakan sebagai vihara, namun sekarang kosong.

Tjoa Giok Dho kemudian tinggal di Jalan Gambiran 29, Tjoa Tiong Ik tetap di Gambiran 17. Rumah Gambiran 17 ini kemudian juga dijadikan kantor yayasan Ing Hwat Siang Hoen yang didirikan keduanya, namun belum diketahui bergerak di bidang apa yayasan ini.

Dho memiliki enam anak. Salah satunya Tjoa Tjong Ho yang memiliki putri bernama Tjoa Bertha (Hartati Soesilowati, 1937 – 2014). Bertha adalah istri Liem Kiem Tjay (Eddy Soesanto), 80 tahun, narasumber tulisan ini, orangtua Kris, sapaan Bambang Kristianto.

Baca juga Tersenyumlah, Kau Akan Tambah Cantik

Ik memiliki 13 anak. Menurut Eddy, salah satu cucu Tiong Ik pernah menjadi agen minyak dan agen es berlokasi di rumah leluhurnya di Gambiran 17. Berdasarkan arsip yang ditunjukkan Melani, Dho juga pernah memiliki depot oli merek Autoline, cabang dari agen di Semarang.

Pada 1997, Kris membeli (menorok) rumah Gambiran 17, yang saat itu dalam keadaan kosong, kepada seluruh keturunan Ik dan Dho yang memiliki hak atas rumah tersebut. Karenanya, sekarang, rumah berikut lahannya seluas 2000 meter persegi atas nama Bambang Kristianto.

Baca juga  Hotel Sidji dan Anggunnya Rumah Letnan Tionghoa

“Rumah itu harus dijual karena ahli waris sudah banyak sekali. Daripada dijual ke orang lain, lebih baik ke keluarga sendiri,” ujar Melani, bersama Eddy, ditemui di Rembang pada Februari 2018.

Kris dan Melani, yang menjalankan bisnis mebel, kemudian menjadikan kompleks bangunan itu sebagai gudang mebel. Bangunan utama sebagai showroom perabot antik.

Saat itu banyak orang asing datang ke Rembang dan Lasem, berburu barang antik. Salah satu yang dibeli adalah altar sembahyang keluarga Tjoa. Keluarga melepas altar tersebut dengan alasan sudah tidak diperlukan lagi sebab kini sudah menganut Kristen. Abu leluhur dilarung ke laut oleh cucu-cicit Tiong Ik.

Baca juga Pernah Azan Berkumandang Sayup di Musajik Usang

Pada masa ini pula, Kris dan Melani kedatangan Ronald G. Knapp dan fotografer A. Chester Ong. Keduanya sedang meriset rumah-rumah tua Tionghoa untuk calon buku Chinese Houses of Southeast Asia (2010). Pada akhirnya rumah Tjoa tidak masuk dalam buku tersebut sebab dianggap lebih muda dibanding rumah Liem di Lasem.

Ong, menurut Melani, sempat mengatakan agar rumah bersejarah ini tidak dijadikan gudang mebel sebab akan merusak fisik bangunannya. “Dia bilang ke suami saya, ‘Ini buaten hotel, jangan kamu buat seperti ini,’” Melani menirukan.

Dengan pertimbangan tempatnya sudah tak dapat menampung produksi yang kian meningkat, ditambah hilir mudik truk mengganggu tetangga, akhirnya gudang mebel dipindah ke arah Blora.

Sedangkan bangunan di Erlangga 17 dijadikan lapangan bulu tangkis sebagaimana hobi Kris. Pondasi untuk lapangan bulutangkis pun dibuat. Baru belakangan keputusan berubah, rumah leluhur Tjoa dijadikan hotel.

“Yang sekarang lobi dan kamar-kamar itu awalnya untuk lapangan bulu tangkis,” Melani menjelaskan. “Kalau rencana awal untuk hotel, mungkin tata letaknya tidak seperti ini. Kondisinya kan saat itu semua pondasi untuk lapangan sudah selesai, baru dipotong-potong untuk hotel.”

Baca juga Masjid Jamik Bengkulu

Lain lagi cerita tentang area parkir hotel. Saat masih rumah tinggal, di sini ada cekungan berbentuk segi empat sebesar tanki, berlapis bata dan semen. Eddy menduga cekungan yang dahulu berada di lorong antara dua kamar itu tempat menyimpan minyak atau es batu, dua usaha cucu Tiong Ik. Ketika dijadikan hotel, cekungan itu diuruk.

Ada lagi peristiwa penting yang terjadi tak lama setelah Kris membeli rumah ini, yakni datangnya seorang warga negara Belanda bernama Jan Goudkuil menemui Kris dan Melani. Kakek Goudkuil pada masa kolonial pernah bekerja di industri minyak, ditempatkan di Rembang, dan mengenal Tjoa Giok Dho. Dan ketika sudah pulang ke Belanda, sang kakek kerap surat menyurat dengan Dho.

Dari alamat pengirim itulah Jan Goudkuil sampai ke Rembang menapak tilas kakeknya. Goudkuil kemudian membeli seluruh surat dan foto lama yang dkirim sang opa ke Dho, yang saat itu disimpan Kris dan Melani.

Kedekatan pasangan Kris dan Melani dengan Goudkuil diabadikan dengan “mencomot” cara Goudkuil menuliskan huruf A di tanda tangannya yang menggunakan huruf Latin miring dengan lengkung di kaki kiri huruf, menjadi logo hotel Antika.

Baca juga Dua Rumah Ibadah di Satu Masa

Antika, hotel dengan 32 kamar, mulai beroperasi pada 9 September 2011. Pembangunannya mengorbankan dua bangunan sayap dan satu bangunan belakang yang dirobohkan, dan ubinnya dibeli orang asing pemburu barang kuno.

Rumah Tjoa, Hotel Antika, Rembang
Ranjang pengantin di tentangan pintu belakang bangunan utama. (Foto: Silvia Galikano)

Yang sebelumnya jadi lokasi bangunan sayap dijadikan tempat parkir dan kamar hotel. Sedangkan di bekas bangunan belakang menjadi bangunan baru dua lantai untuk resepsionis, lobi, dan kamar-kamar.

Bangunan utama rumah masih dipertahankan, termasuk ubin terakota 40×40 cm, menjadi ruang makan. Karakter-karakter Mandarin yang diukir di pintu-pintu, ditonjolkan lagi lewat penambahan cat warna emas. Arti karakter itu ditempel di balik pintu, antara lain “Mewujudukan Terang Benderang”, “Kedamaian”, dan “Panjang Umur Setinggi Gunung”.

Baca juga Dua Keraton Cirebon di Impitan Dua Budaya Besar

Yang dahulu kamar di bangunan utama rumah, sempat dijadikan ruang pertemuan, namun karena ide bangunan tua sebagai hotel adalah ide yang baru di Rembang, peminatnya masih sedikit. Akhirnya ruang tersebut untuk sementara ditutup, tidak difungsikan.

Lantai atas bangunan utama yang memiliki dua kamar saling berhadapan juga menunggu pemanfaatan maksimal. Sementara, satu kamar ditutup, dan satu kamar lain difungsikan sebagai ruang penyimpanan perlengkapan housekeeping.

Untuk mendukung hal tersebut, jendela kamar yang menghadap halaman samping dijadikan “pintu” lift untuk menaikturunkan perlengkapan housekeeping. Daun jendelanya diganti besi.

Baca juga Plang Salon di Suatu Masa

Sebuah ranjang pengantin kuno berukir dipasang di tentangan pintu masuk belakang. Ranjang ini tak selebar aslinya karena ada bagian lapuk yang dipotong, sehingga kini fungsinya lebih sebagai tempat duduk.

Lepas dari keputusan-keputusan yang diambil saat mengalihfungsikan rumah tinggal keluarga Tjoa sebagai hotel, apresiasi terhadap Kris dan keluarga patut diberikan. Pencarian akan sejarah keluarga masih diupayakan.

Masyarakat pemerhati bangunan tua dapat mengawalnya seiring Pemkab Rembang pada 2017 menetapkan ruang makan hotel yang dahulu bangunan utama rumah Tjoa sebagai bangunan cagar budaya.

***
Dimuat di Sarasvati.co.id, 13 Maret 2018

7 Replies to “Merawat Marwah Rumah Tjoa”

  1. Rumahnya ciamik sekali. Masih terawat pula. Jadi ingat kunjungan saya ke Lasem tiga bulan lalu, sempat singgah di beberapa rumah, tapi kebanyakan yg saya singgahi sudah banyak yang rusak.
    Semoga rumah-rumah tua di kawasan Rembang dan Lasem tetap lestari :))

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.